Ilustrasi korban kekerasan anak.

SUMBER GAMBAR,DAVIES SURYA/BBC

Setidaknya 21 anak mengaku menjadi korban pencabulan yang dilakukan seorang guru rebana berinisial M di Batang, Jawa Tengah, selama beberapa tahun terakhir. Namun diduga ada banyak korban yang belum terungkap dan belum melapor.

Beritamilenial– Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Batang, AKP Yorisa Prabowo, mengatakan para korban yang melapor sejauh ini adalah laki-laki berusia 5-13 tahun.

Polisi telah membuka posko pengaduan karena “jumlah korban kemungkinan akan bertambah”.

Tersangka yang berusia 28 tahun dikenal sebagai sosok “religius”, anak tokoh agama setempat yang kerap mengajar rebana dan sesekali mengajar ngaji pada anak-anak sekitar.

Sedangkan menurut keterangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Trinusa yang mendampingi korban dan warga setempat, ini bukan kali pertama tersangka ketahuan melecehkan anak-anak.

“Empat tahun yang lalu pelaku pernah dipergoki warga melakukan hal itu [melecehkan anak-anak], tapi waktu itu diselesaikan secara kekeluargaan antara keluarga korban dan pelaku,” kata pendamping korban, Dimas Adi Pamungkas kepada BBC News Indonesia, Minggu (8/1).

Berkaca dari kasus ini, Retno Listyarti selaku pemerhati anak mengingatkan agar masyarakat “tidak permisif” terhadap pelaku agar kekerasan seksual tidak berulang seperti ini.

Dia juga menyoroti jatuhnya banyak korban anak terjadi karena mereka “tidak dibekali dengan pendidikan seksual sejak dini” dan kasus ini menjadi “alarm” penting untuk itu.

“Ketika kita orang dewasa tidak mengedukasi soal itu, maka selamanya anak nggak paham. Jadi berulang lah si pelaku, karena anaknya sendiri nggak tahu bahwa itu nggak boleh,” kata Retno.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, mengatakan pihaknya tengah “mengawasi kasus ini agar korban-korban lainnya terungkap”, termasuk korban dari kasus empat tahun lalu yang berujung damai.

Sejauh ini, Polres Batang telah menangkap tersangka M pada Jumat (6/1).

Kasus ini masih dalam penyidikan dan tersangka terancam dijerat pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp300 juta.

‘Rata-rata korbannya anak-anak pecinta selawat’

Aksi protes untuk menghentikan kekerasan seksual terhadap anak.

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Menurut keterangan polisi, tersangka berusia 28 tahun ini dikenal oleh warga sebagai sosok yang dikenal “religius” dan merupakan anak dari tokoh agama di kampungnya.

M mempunyai grup rebana sehingga kerap berkeliling di wilayah sekitar untuk mengajar rebana, atau sesekali mengajar mengaji kepada anak-anak di sekitar.

Kasus ini pertama kali terungkap pada awal Januari lalu, setelah salah satu korban di Kelurahan Proyonanggan Utara mengadu kepada orang tuanya bahwa bagian anusnya sakit serta berdarah ketika buang air besar.

“Ibunya mendesak, menanyakan, akhirnya dia cerita habis digitukan [disodomi] oleh tersangka. Anaknya ini ditanyakan juga, ternyata pengakuan si anak ada teman-temannya juga yang sama, digitukan,” jelas Yosari.

Kepada penyidik, M mengaku memiliki “ketertarikan seksual” terhadap para korbannya.

“Anak-anak korban dengan pelaku ini rumahnya berdekatan dan sudah kenal, modusnya diajak latihan rebana, mengaji, kemudian meminjamkan handphone untuk main game,” jelas Yorisa.

Pernah dipergoki kekerasan seksual, tapi selesai ‘secara kekeluargaan’

Sebelum kasus ini terungkap, tersangka M disebut pernah “dipergoki melecehkan beberapa anak” sekitar empat tahun yang lalu, menurut Dimas dan Rahmat.

Tetapi ketika itu, kasus tersebut diselesaikan melalui “mediasi secara kekeluargaan”, sehingga pelaku tidak diproses pidana.

“Waktu itu pertimbangan dari kedua pihak itu daripada melebar kan ndak baik, jadi dimediasi,” kata dia.

Keluarga pelaku, yang merupakan tokoh agama di lingkungan setempat pun saat itu disebut merasa anaknya “telah difitnah”.

Setelah itu, kasus yang menimpa M hanya diketahui oleh segelintir orang sehingga pelaku bisa bepergian dan beraktivitas seperti biasa.

Rahmat mengaku menyesali mengapa kasus itu tidak dibawa ke ranah hukum oleh warga, sampai berujung seperti saat ini.

Ketika mendengar laporan dari para korban, dia mengaku emosinya “berkecamuk” mengingat beberapa di antaranya adalah keluarga dan tetangganya sendiri.

Temuan bahwa kasus serupa pernah dimediasi juga didapati oleh KPAI dari pihak kelurahan, namun polisi mengatakan pada saat itu tidak ada laporan yang masuk.

“Demi kepentingan terbaik korban harus dijemput bola lagi korban tersebut, sehingga hak anak tidak terabaikan dan jika rehabilitasinya tidak selesai dikhawatirkan bisa menjadi pelaku di kemudian hari,” kata Jasra.

Pemerhati anak sekaligus mantan komisioner KPAI, Retno Listyarti, mengatakan kasus ini menjadi pembelajaran agar masyarakat “tidak permisif” terhadap pelaku kekerasan seksual.

“Jangan pernah dimediasi, tapi harus dilaporkan kepada pihak berwajib. Jangan berharap mereka sadar dan jera, makin diampuni malah semakin menjadi,” kata Retno.

Sedangkan Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Apik, Raden Rara Ayu, mengatakan pada kasus-kasus kekerasan seksual seperti ini ada sejumlah faktor yang memicu pendekatan “mediasi”.

Salah satunya adalah relasi kuasa atau status sosial yang dimiliki pelaku sebagai guru rebana.

“Pasti masyarakat berpikir bahwa ‘oh tidak mungkin’, atau bahkan ada anggapan bahwa itu ‘mungkin khilaf’. Atau dianggap sebagai aib di desa, ditutupi, lalu diselesaikan secara kekeluargaan atau dimediasi,” jelas Ayu.

Penyelesaian kasus kekerasan seksual seperti itu, kata Ayu, tidak boleh terulang lagi demi menjamin terciptanya ruang yang aman bagi anak-anak dan korban kekerasan seksual.

Apalagi setelah disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, di mana setiap orang yang mengetahui dan mendengar terjadinya kekerasan seksual wajib melaporkannya.

“Harapannya tidak jadi gunung es dan kasusnya tidak terus berlanjut, jadi pelaku juga mendapat efek jera,” kata dia.

Anak perlu dibekali pendidikan seksual

Korban pelecehan seksual anak.

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Ayu dan Retno sepakat bahwa salah satu pembelajaran krusial dari kasus ini adalah pentingnya membekali anak dengan pendidikan seksual sejak dini.

Retno menilai pendidikan seksual dapat mencegah jatuhnya korban lebih jauh, atau setidaknya anak yang mengalami kekerasan seksual dapat segera melaporkannya kepada orang tua.

Apalagi dalam kasus seperti ini, Retno menuturkan biasanya korban mengalami kekerasan seksual berulang kali.

Di Kota Batang sendiri, ini bukan kali pertama kasus kekerasan seksual berskala besar terjadi pada anak-anak. Pada September 2022, terungkap kekerasan seksual terhadap 45 siswi di salah satu SMP dan pelakunya merupakan guru agama.

“Umumnya anak-anak ketika dimintai keterangan tidak bisa menjelaskan dengan tepat apa yang mereka alami, karena mereka tidak paham dan pencabulan, tidak paham bahwa itu adalah kekerasan seksual,” kata Retno.

Menurut dia, ini terjadi karena pendidikan seksual kerap dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia.

“Setidaknya di usia itu pernah diajari bahwa ada bagian tubuhnya ada organ seksual yang tidak boleh dipegang, disentuh, atau dilihat orang lain selain dia, dan bahwa kalau ada yang melakukan itu harus dilaporkan,” kata Retno.

“Dan menyebutkan semua alat kelamin tadi juga harus dengan istilah sebenarnya, jangan menyebut alat kelamin laki-laki yang seharusnya penis, tapi disebut sebagai ‘burung’. Harus ditekankan bahwa itu bukan hal yang porno dan tabu, supaya tidak berulang.”

Retno mengatakan upaya untuk menciptakan ruang yang aman bagi anak dapat dimulai dari lingkup keluarga.

Pemerintah pun dinilai belum cukup mengedukasi keluarga soal pentingnya pendidikan seksual sejak dini.

Akibatnya, banyak kasus pada anak tidak terungkap karena anak yang mengalaminya tidak mengerti bahwa mereka menjadi korban kekerasan seksual.

“Ini yang bisa dilakukan orang tua untuk membentengi anaknya, bahwa negara menindak itu memang bagian dari tugas negara, tetapi negara juga susah mengawasi sampai ke ruang-ruang kecil dan tertutup,” kata dia.

By Admin