Beritamillenia.com Dunia kini menghadapi krisis iklim dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengonfirmasi bahwa suhu global pada bulan Mei 2025 mencatatkan rekor tertinggi dalam sejarah pencatatan modern, dengan peningkatan mencapai 1,52°C di atas rata-rata suhu pra-industri.
Kondisi ini menandai bulan ke-13 secara berturut-turut di mana suhu global melampaui batas 1,5°C yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris sebagai ambang kritis untuk mencegah bencana iklim yang lebih parah.
Lonjakan Suhu Iklim dan Dampaknya
Kenaikan suhu yang ekstrem telah memicu serangkaian bencana di berbagai belahan dunia:
- India dan Pakistan mengalami gelombang panas dahsyat dengan suhu mencapai 51°C, menyebabkan lebih dari 2.000 kematian dan gangguan listrik skala nasional.
- Brasil dilanda hujan deras yang menyebabkan banjir bandang di wilayah Amazon, memaksa 300.000 orang mengungsi.
- Afrika Timur mengalami kekeringan ekstrem yang mengancam jutaan warga dengan kelaparan dan kehilangan mata pencaharian.
- Wilayah Arktik mencair lebih cepat dari prediksi ilmiah sebelumnya, mempercepat naiknya permukaan air laut secara global.
Reaksi Dunia Internasional – Suhu Iklim
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, dalam pidato darurat di hadapan Majelis Umum, menyampaikan bahwa “kita sedang menuju titik tidak bisa kembali (point of no return),” dan menyerukan aksi segera dan konkret dari negara-negara anggota PBB.
Sementara itu, negara-negara G20, yang menyumbang lebih dari 80% emisi gas rumah kaca dunia, didesak untuk mempercepat transisi energi, menghentikan pendanaan proyek berbasis batu bara, serta meningkatkan komitmen pengurangan emisi hingga dua kali lipat dari target sebelumnya.
Aliansi Iklim 2025: Gerakan Global Baru
Sebagai respons terhadap krisis ini, terbentuklah “Aliansi Iklim 2025”, koalisi lintas negara yang berfokus pada tiga pilar utama:
- Dekarbonisasi industri: Mendorong penggunaan energi bersih pada sektor industri berat seperti baja, semen, dan transportasi udara.
- Inovasi energi terbarukan: Investasi besar-besaran pada tenaga surya, angin, dan teknologi penyimpanan energi.
- Keadilan iklim: Bantuan keuangan dan teknologi untuk negara berkembang agar mampu menghadapi dampak krisis iklim.
Indonesia menjadi salah satu negara pendiri aliansi ini dan berkomitmen mempercepat target net zero emission dari 2060 menjadi 2050. Pemerintah juga meluncurkan program nasional “Transisi Hijau 2030” yang mencakup insentif untuk kendaraan listrik, penanaman kembali hutan tropis, dan konversi pembangkit listrik tenaga batu bara ke energi terbarukan.
Harapan dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Di balik krisis, para ilmuwan dan pelaku industri menciptakan harapan melalui inovasi. Teknologi pengurangan karbon seperti Direct Air Capture (DAC), panel surya generasi baru, dan pertanian karbon-negatif mulai menunjukkan hasil positif. Perusahaan teknologi dan negara-negara maju bekerja sama dalam inisiatif iklim yang mendukung target Perjanjian Paris.
Namun, para pakar mengingatkan bahwa inovasi teknologi tidak akan cukup tanpa perubahan gaya hidup dan reformasi kebijakan besar-besaran. Konsumsi berlebihan, deforestasi, dan model ekonomi yang tidak berkelanjutan harus segera ditinggalkan.
Krisis iklim bukan lagi isu masa depan. Ia adalah kenyataan saat ini yang mengancam seluruh umat manusia tanpa pandang batas negara. Dunia membutuhkan kepemimpinan yang berani, solidaritas antarbangsa, dan kesadaran kolektif bahwa waktu untuk bertindak adalah sekarang bukan nanti.