beritamillenial – Banjir Jakarta Pada Maret 2025, ibu kota Indonesia dan daerah-daerah penyangganya seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang kembali dilanda bencana besar. Banjir besar yang dikenal sebagai “Banjir Jakob” ini dipicu oleh curah hujan ekstrem yang mengguyur kawasan Jabodetabek secara terus menerus selama hampir tiga hari berturut-turut. Sungai-sungai besar seperti Ciliwung, Pesanggrahan, dan Angke tak mampu lagi menampung debit air, menyebabkan meluapnya air ke wilayah permukiman.
Di beberapa titik, ketinggian air mencapai dua meter dan merendam ribuan rumah serta fasilitas publik lainnya. Dalam catatan sejarah banjir modern di Jakarta, banjir kali ini disebut-sebut sebagai yang paling parah sejak peristiwa serupa pada tahun 2020.
Dampak dan Korban Banjir Jakarta
Berdasarkan data dari BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), lebih dari 90.000 warga terdampak langsung, dengan sembilan korban jiwa berhasil dikonfirmasi. Selain itu, ribuan warga lainnya terpaksa dievakuasi ke tempat pengungsian, baik secara mandiri maupun melalui bantuan aparat.
TNI Angkatan Laut dan tim SAR dikerahkan untuk melakukan evakuasi menggunakan kapal cepat dan perahu karet, menyusuri jalanan yang telah berubah menjadi sungai-sungai darurat. Warga yang mengungsi tersebar di stadion, sekolah, masjid, balai desa, dan tempat ibadah lainnya. Banyak pula yang menumpang di rumah kerabat atau saudara karena pusat pengungsian mulai penuh.
Sementara itu, infrastruktur kota lumpuh. Jalan raya utama seperti Jalan Sudirman, Thamrin, dan MT Haryono mengalami kemacetan total. Moda transportasi umum seperti TransJakarta dan KRL Commuter Line terganggu operasinya. Beberapa pusat bisnis dan layanan publik seperti rumah sakit, kantor kelurahan, dan pasar tradisional ikut terendam.
Penyebab dan Amplifikasi dari Faktor Manusia
Meski faktor utama banjir Jakarta 2025 adalah curah hujan ekstrem akibat sistem tekanan rendah yang melanda wilayah Indonesia bagian barat, para ahli menyoroti peran besar faktor manusia dalam memperparah kondisi ini. Urbanisasi yang tak terkendali, alih fungsi lahan resapan, serta sistem drainase yang belum maksimal menjadi akar persoalan yang memperparah genangan.
Di beberapa titik, air yang menggenang tidak kunjung surut meski hujan telah berhenti sejak dua hari sebelumnya. Hal ini menunjukkan rendahnya daya serap tanah perkotaan akibat maraknya betonisasi dan minimnya ruang terbuka hijau.
Ditambah lagi, pembangunan permukiman di bantaran sungai yang belum tertata dengan baik membuat risiko banjir menjadi lebih tinggi. Sampah rumah tangga yang menyumbat saluran air pun turut menjadi penyebab utama banjir semakin meluas dan sulit terkendali.
Tanggapan Pemerintah dan Upaya Pemulihan Banjir Jakarta
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama pemerintah pusat menetapkan status darurat bencana banjir. Sejumlah kebijakan cepat diambil untuk merespons keadaan, di antaranya:
- Penyaluran logistik seperti makanan siap saji, air bersih, selimut, dan obat-obatan ke daerah terdampak.
- Pembentukan posko pengungsian darurat di stadion besar, sekolah, dan gedung serbaguna.
- Mobilisasi alat berat untuk membersihkan saluran air dan puing-puing setelah banjir mulai surut.
- Evaluasi ulang sistem drainase dan pengaktifan penuh pompa-pompa air di berbagai titik krusial.
- Percepatan proyek normalisasi sungai dan pembangunan waduk penampung sementara.
Selain itu, koordinasi antarwilayah diperkuat, terutama dengan daerah penyangga seperti Bogor dan Bekasi, untuk mempercepat aliran air ke hilir serta mencegah banjir lintas batas administratif.
Pelajaran dan Tantangan ke Depan Banjir Jakarta
Banjir Jakarta 2025 menyadarkan seluruh elemen masyarakat bahwa bencana ini bukan sekadar fenomena alam musiman, melainkan konsekuensi langsung dari krisis tata kota dan perubahan iklim global.
Pakar tata lingkungan dan klimatologi menyarankan penguatan sinergi antarwilayah dalam pengelolaan sumber daya air, termasuk pembenahan sistem kanal, kolam retensi, serta perlunya penerapan teknologi pemantauan banjir berbasis AI dan IoT.
Diperlukan juga kesadaran kolektif antara pemerintah, swasta, dan warga dalam menjaga lingkungan. Penegakan hukum terhadap pelanggaran pembangunan di kawasan resapan harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Tragedi banjir Jakarta 2025 menjadi pelajaran pahit namun penting bagi masa depan tata kelola perkotaan Indonesia. Ini bukan sekadar masalah genangan air, melainkan krisis manajemen kota dan krisis lingkungan hidup. Tanpa perubahan signifikan dalam kebijakan dan implementasinya, banjir serupa bisa terulang, bahkan dengan dampak yang lebih dahsyat.
Pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta harus bersama-sama berkomitmen membangun Jakarta yang lebih tangguh terhadap bencana. Karena pada akhirnya, banjir bukan hanya tentang air, tetapi tentang bagaimana kita hidup berdampingan dengan alam secara berkelanjutan.