beritamillenial – Beijing, 15 Juli 2025 – Pemerintah Tiongkok mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi China pada kuartal kedua tahun 2025 mencapai 5,2% secara tahunan (year-on-year). Meskipun masih sedikit di atas ekspektasi analis, angka ini menunjukkan adanya tren perlambatan yang mengkhawatirkan. Dua faktor utama yang membayangi adalah melemahnya konsumsi domestik dan potensi tambahan tarif dari Amerika Serikat, yang dapat semakin membebani performa ekonomi nasional.
Kinerja Ekonomi China: Lebih Baik dari Perkiraan, Namun Rentan
Pertumbuhan 5,2% memang tergolong positif di tengah ketidakpastian global, tetapi tren ini menunjukkan bahwa ekonomi China belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi, krisis sektor properti, dan ketegangan geopolitik.
Sektor infrastruktur dan ekspor masih menunjukkan angka pertumbuhan, namun melemahnya konsumsi rumah tangga – yang merupakan salah satu pilar utama ekonomi China – mengindikasikan ketidakseimbangan dalam pemulihan. Aktivitas manufaktur juga menurun, seiring rendahnya permintaan dalam dan luar negeri.
Konsumsi Rumah Tangga: Jantung Ekonomi China yang Belum Pulih
Melemahnya konsumsi domestik menjadi sorotan utama. Banyak rumah tangga di China yang kini lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang, terutama karena penurunan nilai aset properti, ketidakpastian pasar kerja, dan prospek ekonomi yang tidak menentu.
Generasi muda cenderung menunda pembelian besar seperti mobil atau rumah, dan lebih memilih untuk menabung. Ketidakpastian ini menunjukkan bahwa ekonomi China masih menghadapi tantangan psikologis yang belum sepenuhnya teratasi, meski pemerintah telah menggulirkan kebijakan stimulus.
Ancaman Eksternal: Tarif Tambahan dari AS Menekan Ekspor
Di sisi eksternal, tekanan terhadap ekonomi China juga datang dari kemungkinan diberlakukannya tarif tambahan oleh Amerika Serikat. Pemerintahan AS di bawah Presiden Trump dikabarkan sedang mempertimbangkan tarif baru hingga 25% terhadap produk elektronik, otomotif, dan tekstil asal Tiongkok.
Jika diterapkan, kebijakan ini akan menjadi pukulan telak bagi sektor ekspor China yang saat ini sudah melemah. Hal ini bisa memperburuk aliran investasi asing ke China, serta meningkatkan risiko ketidakstabilan di pasar keuangan dalam negeri.
Langkah Pemerintah: Stimulus dan Pelonggaran Kebijakan
Pemerintah China merespons dengan meluncurkan berbagai stimulus fiskal, termasuk:
- Keringanan pajak bagi usaha kecil dan menengah (UMKM),
- Insentif pembelian kendaraan listrik,
- Proyek infrastruktur berskala besar di wilayah barat.
Bank Sentral China (PBoC) juga menurunkan suku bunga pinjaman dan mendorong peningkatan kredit ke sektor-sektor produktif. Namun para analis menilai bahwa langkah-langkah ini tidak cukup agresif untuk membalikkan arah perlambatan ekonomi China dalam jangka pendek.
Prospek China: Antara Reformasi dan Ketidakpastian Global
Dengan konsumsi domestik yang masih melemah, tekanan tarif dari AS, dan berkurangnya kepercayaan investor asing, ekonomi China diperkirakan akan tumbuh di bawah target 5,5% untuk tahun 2025. Dalam skenario terburuk, pertumbuhan bahkan bisa melambat hingga di bawah 5%.
Selain itu, tantangan struktural seperti:
- Tingginya utang pemerintah daerah,
- Krisis sektor properti,
- Overkapasitas industri berat,
masih membayangi masa depan ekonomi China. Reformasi menyeluruh dibutuhkan, khususnya untuk meningkatkan daya beli masyarakat, memperkuat sistem jaminan sosial, dan mendorong inovasi industri.
Ekonomi China di Persimpangan Jalan
Meskipun angka pertumbuhan PDB tampak stabil, ekonomi China saat ini berada di persimpangan jalan. Pemerintah harus memilih antara mendorong pertumbuhan agresif dengan risiko ketidakstabilan keuangan atau melakukan reformasi mendalam untuk ketahanan jangka panjang.
Dengan konsumsi yang lesu, tekanan geopolitik, dan ketidakpastian eksternal, tantangan yang dihadapi China ke depan tidak bisa diselesaikan hanya dengan stimulus jangka pendek. Dunia kini menyoroti bagaimana Tiongkok akan merespons kondisi ini dan mempertahankan perannya sebagai kekuatan ekonomi global.