Gempa Cianjur terjadi 16 kali dalam dua pekan di Indonesia, mengapa sekarang gempa ‘sering terjadi’?
Gempa di Cianjur, Jember, dan Sukabumi dalam dua pekan terakhir memicu pertanyaan banyak orang, mengapa gempa sering terjadi?
Beritamilenial– Seorang pakar menyebut intensitas kegempaan saat ini “wajar-wajar saja”, meski tetap memperingatkan agar waspada pada potensi gempa kuat.
Pada Kamis (08/12), pukul 07:50 WIB, gempa berkekuatan Magnitudo 5,8 mengguncang bagian tenggara Kota Sukabumi, Jawa Barat.
Getarannya terasa sampai kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan sekitarnya.
Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Faisal Kristiandi tinggal di daerah Jampang Tengah – hanya sekitar 20 kilometer dari pusat gempa. Pagi itu, ia baru saja mengambil handuk dari gantungan, dan melingkarkan ke lehernya.
Tiba-tiba tembok bergetar.
“Sempat terdiam dulu di depan kamar mandi. Merasakan dulu bakalan lama apa nggak, ternyata makin lama makin terasa. Memutuskan buat keluar,” katanya kepada BBC News Indonesia.
Di luar rumah, pria 22 tahun ini menyaksikan banyak tetangganya dengan wajah panik sambil mengucapkan doa-doa keselamatan.
Sebuah akun Twitter menunjukkan kepanikan di Kota Sukabumi.
Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Ada pula cerita anak sekolah yang rencananya akan melakukan simulasi gempa. Tapi kemudian lindu datang lebih awal.
Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Pagi itu, tagar gempa menjadi topik nomor satu yang paling banyak dibicarakan warganet di twitter.
Menyusul gempa yang makin sering dirasakan, Faisal sudah mempersiapkan diri untuk penyelamatan. Ia sudah menyatukan semua barang-barang penting dalam satu tas. Isinya makanan ringan, surat-surat penting, dan P3K.
“Sudah disiapkan. Jadi kalau ada urgen yang benar-benar kita menyelamatkan diri, tinggal satu barang, bawa itu saja. Paket komplit lah gitu,” katanya.
Setelah gempa, tidak ada kerusakan yang dilaporkan.
Namun, di sisi lain Faisal bertanya-tanya kenapa intensitas gempa belakangan ini makin sering dirasakan setelah Gempa Cianjur yang menelan korban 334 jiwa dan delapan orang dilaporkan masih hilang.
“Di masyarakat sering bertanya seperti itu,” katanya.
Mengapa sekarang sering gempa?
“Secara umum itu sebenarnya ya dalam kisaran frekuensi yang masih wajar-wajar saja,” kata pakar kegempaan dari Universitas Gadjah Mada, Gayatri Indah Marliyani, kepada BBC News Indonesia.
Gayatri mengatakan apa yang sebenarnya “sering dirasakan gempa” merupakan dampak psikologis dari peristiwa Gempa Cianjur yang masih membekas di masyarakat.
Ditambah lagi, informasi yang cepat setiap kali gempa terjadi, dan kemajuan teknologi yang mendeteksi pergerakan tanah.
“Ya karena banyak gempa karena sensornya juga semakin baik di dalam mendeteksi, semakin baik dan semakin cepat. Jadi ada peningkatan semu. Dalam artian, itu karena kemampuan atau kapabilitas kita di dalam mendeteksi kejadian gempa meningkat,” tambah Gayatri.
BMKG melaporkan dalam dua pekan terakhir setidaknya terjadi 16 gempa bumi berkekuatan di atas Magnitudo 5 di seluruh Indonesia.
Gempa di Sukabumi berkekuatan M5,8 tadi pagi adalah salah satunya. Artinya, rata-rata dalam sehari Indonesia mengalami gempa di atas Magnitudo 5.
Dalam cuitannya, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami (BMKG), Daryono, mengatakan gempa di Sukabumi merupakan gempa dengan kedalaman 122km di zona subduksi Indo-Australia.
Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah ‘terima dan lanjutkan’.
Seperti diketahui, hal yang menjadikan wilayah Indonesia rawan gempa karena dilalui jalur pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.
Lempeng tektonik adalah bagian paling atas bumi yang selalu bergerak, seperti lempengan es di danau.
“Jadi sebenarnya kalau kita perhatikan di sepanjang zona subduksi [daerah pertemuan antarlempeng] itu kegempaan itu hampir setiap hari terjadi,” tambah Gayatri.
Apakah ini karena Gempa Cianjur?
Gempa Cianjur, kata Gayatri, adalah gempa dangkal yang tidak terkait dengan gempa di Sukabumi, maupun di Jawa Timur beberapa waktu lalu. Semuanya tidak saling terkait jika dilihat dari zona subduksinya.
“Jadi, kejadiannya saja bareng dekat-dekatan gitu,” katanya.
“Jadi kalau untuk apakah gempa Cianjur kemudian memicu terjadinya gempa gempa yang lain, itu sebenarnya nggak.”
Seperti diketahui, Gempa Cianjur berkekuatan M5,6 sumbernya 10 kilometer di bawah tanah. Awalnya gempa ini diyakini akibat aktivitas sesar Cimandiri. Akan tetapi belakangan baru diketahui kemunculan sesar aktif lainnya.
Sejauh ini diketahui terdapat enam sesar aktif di Jawa Barat, yaitu sesar Cimandiri (100km membujur dari Teluk Pelabuhan Ratu – Padalarang), sesar Lembang (30km di utara Kota Bandung), dan sesar Baribis (100km dari Kab Purwakarta – perbukitan Baribis Kab Majalengka).
Lalu, sesar Garsela alias Garut selatan (42km selatan Garut – Bandung), sesar Citarik dan sesar Cipamingkis. Aktivitas dari sesar-sesar di provinsi paling padat se-Indonesia, berpotensi memicu gempa besar.
Apakah Gempa Cianjur akan memicu aktivitas sesar lainnya?
Aktivitas sesar satu dengan yang lainnya juga tergantung dengan jarak dan status sesar yang akan tergerak. Artinya, Gempa Cianjur akibat sesar aktif yang baru diketahui ini, belum tentu langsung ikut menggerakkan sesar-sesar lainnya.
“Kalau dekat banget, iya. Tapi syaratnya si yang sesar itu sudah memang siap untuk bergerak atau dia sudah memang di ambang batasnya untuk bergerak.
Dalam artian stresnya dia sudah cukup tinggi, tekanan yang dia kumpulkan, dan cukup kemudian disenggol sedikit baru dia bisa bergerak,” tambah Gayatri.
Selain itu, untuk mengetahui suatu sesar dalam posisi “stres” perlu penyelidikan. Salah satunya adalah menggunakan data pergerakan permukaan kemudian juga bisa dari sejarah kegempaan.
Apa yang bisa dilakukan masyarakat?
Gempa Cianjur masih membekas, bukan hanya warga yang terdampak langsung, tapi warga di kota-kota lainnya yang ikut merasakan gempa saat itu.
Peristiwa ini mengingatkan kembali penduduk Indonesia hidup bersama dengan gempa yang kapan saja bisa hadir, bahkan ketika sedang tidur nyenyak. Tapi, kata Gayatri, bukan berarti harus hidup “24 jam dalam ketakutan”.
“Artinya kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya sehingga ketika kejadian itu datang kita tidak tidak terkena dampak. Kita bisa meminimalisir dari dampak tersebut,” katanya.
Caranya mengetahui sejauh mana gempa berpotensi merusak rumah tinggal, memahami daerah kunjungan, dan arah melarikan diri ketika bencana alam hadir.
“Ada semacam pemahaman yang harus dibangun harus membaca dan melihat peta, harus melihat posisi di manapun berada untuk mempersiapkan diri. Kalau saya berada di kota A ke kota B, di desa A dan desa B, artinya saya terekspos terhadap ancaman apa saja itu, dari diri sendiri.”