Haiti

beritamillenial – Port-au-Prince, 15 Juli 2025 – Negara kecil di kawasan Karibia, Haiti, kembali menjadi sorotan dunia internasional setelah dilanda gelombang kekerasan bersenjata yang semakin tidak terkendali. Krisis keamanan yang terus memburuk, lemahnya pemerintahan transisi, serta meningkatnya aksi kekerasan geng membuat kehidupan masyarakat Haiti semakin mencekam.

Kondisi ini bukanlah hal baru bagi Haiti, namun situasi tahun 2025 menunjukkan eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak pembunuhan Presiden Jovenel Moïse pada 2021. Saat ini, negara tersebut nyaris kehilangan kendali penuh atas hukum dan keamanan nasional.

Kekerasan Geng Melumpuhkan Ibu Kota

Port-au-Prince, ibu kota negara, kini telah berubah menjadi medan perang terbuka antara geng bersenjata dan aparat keamanan yang minim sumber daya. Kelompok-kelompok bersenjata menguasai lebih dari 80% wilayah ibu kota, menurut laporan dari PBB.

Serangan terhadap warga sipil, penculikan massal, pemerasan, hingga pembakaran rumah dan fasilitas umum telah menjadi pemandangan sehari-hari. Sekolah, rumah sakit, dan pasar telah ditutup karena masyarakat tidak berani keluar rumah.

“Tidak ada lagi tempat aman. Bahkan di siang hari, suara tembakan terdengar dari berbagai arah. Kami hidup dalam ketakutan,” ujar Jean-Marc, seorang warga lokal yang mengungsi ke luar kota.

Pemerintahan Transisi dalam Tekanan

Perdana Menteri sementara Garry Conille, yang ditunjuk sebagai bagian dari Dewan Transisi Presiden Haiti, menghadapi tantangan berat dalam mengendalikan situasi. Meski telah berupaya membentuk pemerintahan sementara yang inklusif, berbagai kelompok politik dan milisi bersenjata menolak legitimasi pemerintahannya.

Dewan transisi yang terdiri dari tujuh anggota belum menunjukkan hasil nyata dalam menstabilkan negara. Bahkan, beberapa anggotanya dituding memiliki hubungan dengan kelompok kriminal tertentu, yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan.

Krisis Kemanusiaan: Kelaparan dan Pengungsian

Selain masalah keamanan, krisis kemanusiaan turut memburuk. Lebih dari 300.000 orang telah mengungsi dari rumah mereka sepanjang tahun 2025. Organisasi Kemanusiaan Dunia (OCHA) mencatat lebih dari 4,9 juta warga Haiti membutuhkan bantuan pangan segera.

Distribusi bantuan pun terhambat akibat kontrol geng terhadap jalur logistik dan akses utama. Lembaga-lembaga kemanusiaan menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya jumlah anak-anak yang mengalami gizi buruk serta merebaknya penyakit menular di kamp-kamp pengungsian.

Respons Internasional: Intervensi atau Dialog?

Komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat dan PBB, menyatakan keprihatinan atas situasi di Haiti. Namun, sejauh ini belum ada langkah tegas untuk intervensi langsung. Wacana pengiriman pasukan penjaga perdamaian kembali mengemuka, namun menuai pro dan kontra di dalam negeri Haiti.

Negara-negara Karibia seperti Jamaika dan Bahama mendesak intervensi militer segera, sementara negara-negara Afrika dan Amerika Selatan mendorong pendekatan diplomatik dan dialog internal untuk solusi jangka panjang.

Harapan Baru atau Jalan Buntu?

Kendati situasi saat ini sangat kelam, beberapa pengamat menilai bahwa pembentukan pemerintahan transisi tetap bisa menjadi peluang untuk pemulihan. “Tantangannya sangat besar, tetapi ini adalah momen penting bagi Haiti untuk bangkit dengan dukungan internasional yang tepat,” ujar analis politik dari Caribbean Policy Institute.

Namun, jika tidak ada aksi cepat dan konkret dari pihak internasional dan internal Haiti sendiri, negara ini berisiko memasuki jurang kekacauan yang lebih dalam dan lebih sulit untuk dipulihkan.

Krisis multidimensi yang melanda Haiti saat ini membutuhkan perhatian dan respons global yang serius. Kekerasan geng, kelumpuhan pemerintahan, dan penderitaan rakyat merupakan kombinasi yang bisa menjerumuskan negara ini ke dalam kehancuran total. Dunia kini menunggu: apakah Haiti bisa diselamatkan, atau justru dibiarkan tenggelam dalam kekacauan tanpa ujung?

By Admin