Proses pelaksanaan pemilu 2024 disebut “berjalan dalam ketidakpastian hukum” setelah hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan menunda tahapan pemilu ke tahun 2025.
Beritamilenial– Merespons persoalan ini, Menkopolhukam, Mahfud MD, mengatakan putusan tersebut harus dilawan karena tidak sesuai dengan kewenangannya karena bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Pemilu.
Juru bicara PN Jakarta Pusat, Zukifli Atjo, mengatakan putusan gugatan Partai Prima terhadap KPU belum berkekuatan hukum tetap karena masih ada ruang untuk banding dan kasasi jika tidak sependapat.
Adapun Ketua Umum Partai Prima, Agus Jabo Priyono, menjelaskan pihaknya sebetulnya tidak menginginkan pemilu ditunda. ‘
Apakah PN Jakpus berwenang menunda pemilu?
Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menyebut putusan hakim PN Jakpus yang mengabulkan gugatan perdata Partai Prima “tidak rasional dan di luar yuridiksi”.
Sebab gugatan soal verifikasi partai calon peserta pemilu 2024, masuk dalam sengketa administrasi pemilu yang mana menjadi ranah Bawaslu atau Pengadilan Tata Usaha Negara.
“Tidak diperkenankan pengadilan negeri memutuskan untuk menunda pemilu karena itu bukan yuridiksi dan kewenangannya,” ujar Feri kepada BBC News Indonesia, Jumat (03/03).
“Pemilu itu dilangsungkan berkala lima tahun sekali berdasarkan Pasal 22 E ayat UUD 1945,” sambungnya.
“Tidak mungkin pengadilan negeri menentang ketentuan pasal konstitusi ini.”
Selain menabrak UU 1945, kata dia, putusan PN Jakpus juga sesungguhnya bertentangan UU Pemilu karena dalam undang-undang tersebut hanya mengenal penundaan dalam bentuk susulan dan lanjutan.
Artinya, kata dia, tidak boleh ada penundaan nasional.
“Penundaan susulan kalau di tahapan tertentu terjadi upaya yang tidak memungkinkan dilakukan proses pemilu karena bencana. Maka tahapan yang tertunda disusulkan.”
Bagi Feri, putusan PN Jakpus ini sebagai ancaman bagi demokrasi di Indonesia.
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal, sependapat.
Menurut dia, sedari awal gugatan ini sudah keliru dan hakim seharusnya menyatakan gugatan Partai Prima tersebut tidak bisa diterima karena bukan ranah mereka.
“Itu yang tidak dipahami hakim PN Jakpus,” ujar Nicky Fahrizal dalam diskusi di Jakarta, Jumat (03/03).
Apa akibatnya terhadap proses tahapan pemilu?
Akibat dari putusan tersebut proses tahapan pemilu berjalan dalam ketidakpastian hukum, kata peneliti CSIS, Nicky Fahrizal.
Terlebih KPU menyatakan akan melakukan banding.
“Kalau banding harus menunggu proses persidangan yang mungkin sampai Mahkamah Agung dan memakan waktu lama,” jelas peneliti CSIS, Noory Okthariza.
Menurut Nicky, ada langkah lain yang sebetulnya bisa ditempuh KPU tanpa membuang-buang waktu dan secara hukum lebih tepat.
Karena ini termasuk gugatan perdata, KPU hanya perlu membayar ganti rugi materiil kepada penggugat sebesar Rp500 juta dan melakukan verifikasi ulang terhadap Partai Prima.
Soal bunyi putusan yang menunda pelaksanaan tahapan pemilu, “bisa diabaikan oleh KPU dengan alasan bahwa itu melampaui batasan yuridiksi hukum dan menabrak Undang-Undang Pemilu serta UUD 1945,” jelasnya.
Meskipun diakui Nicky, akan muncul narasi ‘KPU atau pemerintah tidak menghormati putusan pengadilan’ oleh kelompok tertentu yang ingin menunda pemilu.
Apa dampak menunda pemilu?
Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes, mengatakan pelaksanaan pemilihan umum tiap lima tahun sekali sudah diatur dalam konstitusi.
Jika terjadi perubahan durasi pemilu, maka itu sama saja bertentangan pada UUD 1945.
Pelaksanaan pemilu lima tahun sekali, sesungguhnya penting agar ada kepastian politik bagi parpol dalam memilih kandidat caleg dan capres.
Pemilu yang pasti, sambungnya, juga penting untuk “memastikan agar sirkulasi kepemimpinan di level nasional dan daerah bisa berjalan sesuai waktu”.
Arya menyebut kalau ada penundaan, dampak yang paling besar adalah “terjadi pembengkakan anggaran pemilu lantaran masa kerja penyelenggara jadi lebih panjang”.
Di sisi lain, penundaan pemilu memberikan ketidakpastian bagi dunia usaha dan perbankan untuk merancang strategi investasi ke depan.
“Stabilitas akan memengaruhi, mucul ketidakpercayaan investor domestik dan luar negeri.”
Apakah wacana penundaan pemilu pernah muncul sebelumnya?
Peneliti CSIS, Noory Okthariza, mengatakan jauh sebelum putusan untuk menunda pemilu ini muncul, wacana serupa juga telah beberapa kali bergulir oleh “kelompok tertentu dan terorganisir” yang menginginkan ditundanya pemilihan.
Ia mencontohkan kemunculan wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, lalu mendorong amandemen konstitusi atau GBHN.
“Kemudian mobilisasi kepala daerah yang menuntut menambah masa jabatan menjadi sembilan tahun dan terakhir minta penghapusan jabatan gubernur,” imbuh Noory.
“Saya melihat ini digerakkan kelompok yang relatif terorganisir dan harus dianggap serius.”
“Semakin mendekat ke tahun politik, isu itu dijadikan komoditas untuk political bargain dan itu kayaknya terjadi.”
Bagaimana kasus ini bermula?
Ketua Umum Partai Prima, Agus Jabo Priyanto, mengatakan gugatan perdata ke PN Jakarta Pusat sudah dimulai sejak 4 Desember 2022 usai KPU mengumumkan partainya tidak lolos verifikasi administrasi dalam peserta pemilu 2024.
Padahal setelah dipelajari dan dicermati oleh Partai Prima, jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) ternyata juga dinyatakan Memenuhi Syarat oleh KPU dan hanya ditemukan sebagian kecil permasalahan.
Partai ini juga menyebut KPU tidak teliti dalam melakukan verifikasi yang menyebabkan keanggotaannya dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat di 22 provinsi.
Implikasi dari ketidaktelitian KPU, klaimnya, Partai Prima mengalami kerugian immateriil yang memengaruhi anggotanya di seluruh Indonesia.
Itu mengapa Partai Prima meminta PN Jakpus menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu 2024 selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sejak putusan dibacakan.
Agus juga menjelaskan, sebelum akhirnya maju ke PN Jakpus, pihaknya sudah menggugat ke Bawaslu dan PTUN tapi hasilnya nihil.
“Kami minta agar hak kami sebagai warga negara untuk berpolitik, dan mendirikan partai politik dan menjadi peserta pemilu harus dipulihkan,” kata Agus.
Dalam putusannya, majelis hakim PN Jakpus mengabulkan gugatan perdata Partai Prima dengan tergugat KPU.
Hakim menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan pertimbangan, KPU dianggap telah melanggar asas kecermatan dan profesionalisme saat menggelar verifikasi administrasi partai politik.
Berikut putusan majelis hakim PN Jakpus:
1. Menerima Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh Tergugat;
3. Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
4. Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada Penggugat;
5. Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari;
6. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad);
7. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Tergugat sebesar Rp.410.000,00 (empat ratus sepuluh ribu rupiah)
Profil Partai Prima
Partai Rakyat Adil Makmur atau (Prima) dideklarasikan pada 1 Juni 2021 di Pusat Perfilman Umar Ismail, Jakarta.
Ketua Umumnya adalah Agus Jabo Priyono yang sebelumnya merupakan Ketum Partai Rakyat Demokratik (PRD) –sebuah parpol yang mewadahi berkumpulnya orang-orang yang anti-Presiden Suharto di era Orde Baru.
Agus Jabo juga dikenal sebagai salah satu aktivis dalam gerakan reformasi 1998.
Partai Prima telah sah sebagai badan hukum dan mengantongi surat keputusan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM pada Deseber 2020.
Prima disebut telah memiliki perwakilan atau dewan pengurus di 34 provinsi, 387 kota/kabupaten, dan 3.100 kecamatan.