Penembakan Nduga: Kelompok Papua merdeka klaim tanggung jawab, pemekaran provinsi disebut pengamat ‘akan menambah tensi konflik’
Kelompok pro-kemerdekaan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengaku bertanggungjawab atas penembakan warga sipil yang mereka klaim sebagai “mata-mata” yang menyamar.
Beritamilenial– Penembakan yang terjadi di distrik Kenyam di Nduga, Papua akhir pekan lalu itu mengakibatkan 10 orang meninggal dunia dan dua lainnya luka-luka.
Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom memperingatkan aksi serupa akan terus berlanjut termasuk dengan menyasar pendatang yang dianggap merupakan bagian dari pasukan keamanan mereka.
Penembakan terjadi menyusul kebijakan pemekaran Papua yang ditempuh pemerintah pusat.
Peneliti isu Papua Adriana Elizabeth memperkirakan pemekaran provinsi yang dia sebut terjadi di daerah “hotspot” berpotensi menambah tensi konflik bersenjata berkepanjangan di Papua.
“Pemekaran ini tidak akan menyelesaikan, malah akan menambah tensi konflik,” ujar Adriana.
Namun Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Theofransus Litaay beralasan konflik yang terjadi baru-baru ini tak ada kaitan dengan pemekaran wilayah Papua dan mengatakan pemerintah akan terus melanjukan pembentukan daerah-daerah otonomi baru.
Cita-cita yang kandas
Salah seorang korban meninggal dari 10 warga sipil adalah yang bekerja sebagai sopir bupati Nduga.
Nur Aisyah menunjukkan foto suaminya, Mahmud Ismaun, saat ditemui di rumah duka di Palu, Sulawesi Tengah.
Sejak Senin (18/07) pagi, tampak ratusan orang melayat di rumah duka, termasuk Ance Marjen Moomin, istri Bupati Nduga Namia Gwijangge.
Selama hampir dua tahun terakhir Mahmud merantau ke Papua mencari nafkah demi menyekolahkan anaknya hingga menjadi sarjana.
“Dia bilang, kalau memang belum tuntas anaknya selesai kuliah, dia belum mau pulang. Begitu dia punya cita-cita untuk anaknya. Kita rasa terharu dengar begitu, ” tutur Nur Aisyah sambil berurai air mata.
Cita-cita itu urung terlaksana, pria itu harus menemui ajalnya.
“Kita dengar kabar kemarin sudah meninggal,” kata Nur Aisyah kemudian.
Raut sedih tampak jelas di wajah perempuan paruh baya tersebut.
Mahmud Ismaun, 53 tahun, adalah salah satu dari korban meninggal dalam penembakan yang terjadi di Nduga pada Sabtu (16/07) pagi. Jenazahnya tiba di Palu pada Minggu (17/07).
Ance Marjen, yang turut hadir saat mengantarkan jenazah Namia di rumah duka, menyampaikan permohonan maaf atas kejadian naas yang menimpa Mahmud dan menyatakan belasungkawa.
“Kami menyampaikan permohonan maaf, dan turut berduka cita, Almarhum orang haik, dan bekerja dengan selalu tepat waktu,” ucapnya.
Selain Mahmud, ada sembilan warga sipil lain yang meninggal dalam insiden yang diklaim dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan TPNPB-OPM tersebut.
Kebanyakan dari mereka adalah warga pendatang di Papua dan salah satu di antaranya adalah pendeta.
Penembakan di empat TKP nduga
Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol. Ahmad Musthofa Kamal menjelaskan peristiwa itu terjadi pada Sabtu (16/07) pagi, ketika anggota kelompok pro-kemerdekaan mendatangi sebuah warung di Kampung Nogolaid, Distrik Kenyam, Nduga.
Tak lama kemudian terjadi keributan yang memicu penembakan terhadap enam orang yang berada disekitar warung.
Lalu, Kamal menjelaskan, sekitar 15 hingga 20 orang dengan senjata laras panjang dan peralatan perang mereka menghentikan truk yang kebetulan melintas. Mereka menembaki orang-orang yang ada dalam truk tersebut.
Dua orang yang berada di bagian belakang truk selamat dari insiden tersebut dan kini sedang menjalani perawatan di rumah sakit di Mimika.
Sekitar 100 meter dari lokasi itu, ditemukan korban dengan luka parah, seorang pendeta yang merupakan orang asli Papua. Dia akhirnya meninggal ketika dirawat di rumah sakit sehari kemudian.
Sekitar 300 meter dari lokasi pendeta ditemukan, kepolisian menemukan korban penembakan yang telah meninggal dunia dalam sebuah mobil.
Mahmud Ismaun adalah orang di dalam mobil tersebut.
Sebby Sambom, juru bicara kelompok pro-kemerdekaan Papua TPNPB-OPM, mengeklaim penembakan itu dilakukan oleh pasukan yang dipimpim oleh Egianus Kogeya.
“Kami sudah terima laporan dari Panglima Komando Daerah Pertahanan Wilayah III Ndugama, Egianus Kogoya, di mana dia sampaikan kepada kami bahwa mereka bertanggung jawab atas penembakan itu,” ujar Sebby kepada BBC Indonesia.
Egianus Kogeya adalah orang yang sama yang diduga menjadi dalang penembakan penembakan pekerja proyek jembatan di jalur Trans Papua di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga. Belasan orang tewas dalam insiden tersebut.
Sebby menjelaskan bahwa penembakan terjadi setelah salah warga merekam para anggota OPM yang tengah mengibarkan bendera Bintang Kejora—yang menjadi simbol OPM—dengan ponselnya.
“Seorang asli Papua [secara] sembunyi-sembunyi lakukan perekaman video dan foto. Mereka tanya dia siapa yang suruh, tetapi karena dia melawan untuk tidak menghapus video rekaman, terpaksa TPNPB tembak dia mati,” jelas Sebby.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Theofransus Litaay memastikan bahwa pemerintah akan melakukan proses penegakan hukum atas insiden ini.
“Pelakunya akan dicari dan akan terus diupayakan agar dapat diselesaikan secara tuntas,” tegasnya.
‘Mata-mata yang menyamar’
Ketika ditanya mengapa menyasar warga sipil, Sebby beralasan bahwa pihaknya telah lama melarang warga sipil berada di wilayah konflik.
Siapapun warga miskin yang berkukuh untuk tetap tinggal di wilayah konflik, dianggap sebagai “mata-mata dan bagian dari pasukan keamanan Indonesia”, aku Sebby.
Dia memperingatkan “imigran Indonesia” dari pulau-pulau lain untuk meninggalkan Papua dan mengancam akan membunuh mereka jika mereka mengabaikan peringatan itu.
“Orang Indonesia – entah guru, perawat, pegawai apapun dilarang masuk di wilayah itu, kami siap tembak,” ancam Sebby.
Dia melanjutkan, OPM tidak akan berkompromi dengan siapa pun, “baik non-Papua atau orang Papua yang mencurigakan”, sampai Papua memperoleh kemerdekaan.
“Kalau Anda melawan perintah kami, maka kami anggap Anda orang-orang imigran itu bagian dari pasukan keamanan Indonesia.”
“[Mereka] itu termasuk intelijen, mata-mata, yang menyamar sebagai pegawai negeri masuk di wilayah kami,” jelas Sebby kemudian.
Peringatan yang diutarakan oleh Sebby Sambom, dan skala korban penembakan yang besar, menurut pakar isu Papua, Adriana Elizabeth, menandakan bahwa kelompok pro-kemerdekaan semakin berani beraksi.
Sebab, kata Adriana, mereka sudah menyatakan siap perang dan mereka tidak setuju dengan kebijakan pemerintah untuk Papua.
Perubahan pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah—yang lebih defensif— membuka peluang bagi kelompok ini untuk lebih agresif beraksi.
Akan tetapi, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Theofransus Litaay memastikan bahwa pemerintah Indonesia konsisten dengan pendekataan baru yang ditempuh, yaitu pembangunan kesejahteraan dan pendekatan keamanan teritorial.
“Secara keamanan, pemerintah melakukan pendekatan yagn sifatnya pembinaan territorial, jadi tidak melakukan operasi militer, tetapi melakukan pembinaan teritorital.”
“Oleh karena itu di daerah-daerah di mana tidak ada guru, di situ bisa dibantu dari TNI membantu pendidikan di sekolah, membantu kesehatan, pertanian dan lain-lain,” katanya.
‘Serba dilematis’
Menurutnya, dengan pendekatan saat ini eskalasi serangan berpotensi akan terus meningkat.
Naamun di sisi lain, dia khawatir pendekatan keamanan yang lebih agresif tak akan menyelesaikan persoalan. Alih-alih, terjadi konflik terbuka.
“Ini serba dilematis menurut saya,” kata Adriana.
“Ini bisa jadi peluang bagi KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata—sebutan bagi TPNPB-OPM) bergerak lebih agresif, tetapi juga kalau kemudian terjadi evaluasi pendekatan keamanan yang terjadi di Papua, ini akan lagi terjadi konflik terbuka.
“Itu harus diperhitungkan betul. Kalau itu terjadi, sudah pasti dampaknya akan ke masyarakat,” terang Adriana.
Lebih jauh, Adriana menjelaskan bahwa kelompok pro-kemerdakaan yang bergerak saat ini adalah kelompok ideologis yang sekaligus menggunakan senjata.
Menghadapi kelompok semacam ini, kata Adriana, tidak bisa diselesaikan dengan senjata. Justru, pemerintah semestinya menyelesaikan persoalan berkaitan dengan ideologi mereka.
“Meski diancam mereka tetap bersikap seperti itu. Artinya, pendekatan keamanan selama ini tidak terlalu efektif. Diubah, tapi tidak menyelesaikan masalah. Selain KKB-nya menjadi lebih berani,” kata Adriana.
Tensi meningkat akibat pemekaran?
Adriana kemudian merujuk pada pola yang terjadi sebelumnya, serangan penembakan atau konflik bersenjata terjadi usai pemerintah menempuh kebijakan tertentu menyangkut Papua.
Misalnya, penetapan TPNPB-OPM sebagai organisasi teroris, revisi Undang-Undang Otonomi Khusus, dan terbaru, pemekaran wilayah Papua.
Ia memprediksi bahwa pemekaran Papua akan membuat konflik bersenjata kian memanas.
“Ini sudah bisa diprediksi juga sebetulnya dan ini sudah lama dibicarakan,” kata Adriana.
Merujuk pada aturan tentang pemekaran wilayah dalam revisi UU Otsus, lanjut Adriana, pemekaran Papua semestinya dilakukan dengan catatan konflik dihentikan terlebih dulu.
“Daerah-daerah yang dimekarkan ini kan daerah hotspot, bagaimana mau memekarkan suatu daerah kalau isinya konflik?
“Bagaimana mau memekarkan suatu daerah kalau konflik masih berlangsung?
“Siapa yang mau kerja di sana, sekarang saja kosong tempat-tempat konflik itu. Itu ada perbedaan perspektif yang tajam, menurut saya,” kata Adriana.
Belum lagi, tambah Adriana, akan semakin banyak pemilihan kepala daerah digelar yang “akan menambah potensi masalah yang besar”.
“Konflik itu tidak akan selesai karena memang tidak diselesaikan, cuma buying time (mengulur waktu) saja.”
Namun, Theofransus Litaay dari Kantor Staf Presiden beralasan bahwa konflik yang terjadi tak ada kaitan dengan pemekaran wilayah Papua.
Maka dari itu, pemerintah akan terus melanjukan program yang sudah direncanakan, termasuk pembentukan daerah-daerah otonomi baru.
“Saya kira serangan ini tidak terkait dengan daerah otonomi baru (DOB) karena baik ada DOB maupun tidak ada DOB kekerasan itu masih bisa kita temukan terjadi.
“Kita justru berharap dengan adanya DOB nanti pada saat dia berfungsi secara penuh, tentu akan membawa banyak manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat.
“Sekarang kita belum lihat karena baru akan dilaksanakan. Pada saat dia sudah berjalan, tentu semua orang akan bersyukur,” jelas Theo.
Akan tetapi, Sebby Sambom, juru bicara TPNPB-OPM yang diklaim bertanggung jawab atas rangkaian penembakan dan konflik bersenjata dengan TNI/Polri selama bertahun-tahun, menganggap pemekaran provinsi Papua ini akan kian membuat warga pendatang semakin mendominasi tanah Papua.
“Sekarang Jakarta paksa bikin provinsi-provinsi baru, itu kan masyarakat orang asli Papua tidak minta. Itu sudah jelas politik pendudukan.
“Dominasi penduduk imigran untuk mengakui tanah Papua milik orang Indonesia, maka mereka bagian dari pasukan keamanan Indonesia,” tegas Sebby.
Dia menegaskan tidak akan berkompromi dan memperingatkan bahwa “pembunuhan akan terjadi di mana-mana”.
“Bukan di Nduga saja, di seluruh Papua akan terjadi. Wilayah yang belum konflik perang pun akan muncul perang karena kami sudah siap,” cetusnya.