Gagal Ginjal

BERITA MILLENIAL – Gagal Ginjal Wanita berjilbab abu-abu duduk di pojok salah satu ruangan basement Gedung Pusat Kesehatan Ibu Anak (PKIA) Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kiara, Jakarta Pusat. Sesekali dia tertunduk lesu, tatapannya kosong. Di samping kirinya, duduk seorang pria berbaju putih. Mereka sepasang suami istri yang menanti kabar dari tenaga medis yang menangani anaknya, K (1 tahun).

Wanita itu berinisial TWD (30 tahun). Sudah empat hari dia menghuni ruangan tersebut bersama suaminya dan sejumlah anggota keluarga pasien lain. Selimut, perlengkapan mandi, dan pakaian ganti dibawa dari rumah.

Gagal Ginjal TWD masih tak menyangka anaknya yang baru saja berulang tahun pertama terkena gangguan ginjal akut progresif atipikal. Kini, K harus berjuang di Pediatric Intensive Care Unit (PICU), ruang perawatan intensif khusus bayi, yang berada di lantai empat Gedung PKIA RSCM Kiara.

“Harusnya hari ini cuci darah. Tapi dokter lagi mau ada penelitian ke badan anak saya,” ucap dia saat ditemui  pada 20 Oktober 2022.

Kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak

Gagal Ginjal

Gagal Ginjal TWD ingat betul awal mula anaknya sakit. Pada 3 Oktober 2022, sang anak muntah. Dalam sehari bisa sampai empat kali. Keesokan harinya, TWD membawa putrinya ke puskesmas terdekat. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, tidak ditemukan penyakit berat. Tenaga kesehatan lantas memberikan obat pereda muntah dan penurun demam berupa sirop parasetamol.

Dua hari kemudian, kondisi K membaik. Namun menjelang 7 Oktober 2022, K kembali jatuh sakit. Kali ini demam menyerang. TWD berinisiatif memberikan sirop parasetamol yang diperoleh dari puskesmas.

Demam yang dialami K tak kunjung mereda. Justru, suhu tubuhnya terus meningkat hingga 39 derajat Celcius. Pada 9 Oktober 2022, K sempat kejang-kejang, sesekali batuk ringan. TWD semakin khawatir. Dia lalu membawa K ke klinik.

Di klinik, K mendapatkan lima jenis obat. Pereda muntah, radang, batuk pilek, demam, dan antibiotik. Setelah mengonsumsi obat tersebut, demam turun. Tapi pada Kamis, 14 Oktober 2022, kondisi tak biasa muncul. Keringat dingin mengucur dari bagian perut hingga kepala K. Sementara bagian kakinya menghangat. Sehari berikutnya, perut K membesar. Dia menolak makan dan minum. Menangis sepanjang hari. Urine mulai tak keluar dari tubuhnya.

TWD kembali membawa anaknya ke puskesmas. Usai pemeriksaan, tenaga kesehatan menyimpulkan K terkena gangguan ginjal akut progresif atipikal. TWD kaget. Dia tak habis pikir anaknya yang tak memiliki penyakit bawaan harus bergelut dengan penyakit baru.

Puskesmas menyarankan K segera dirujuk ke rumah sakit terdekat. Agar tak terjadi kondisi fatal. TWD setuju. Di rumah sakit, sampel darah K diambil untuk diperiksa di laboratorium. Tak berselang lama, pihak rumah sakit meminta K dirujuk ke RSCM.

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Bali, IGN. Sanjaya Putra mengatakan, pasien yang datang ke rumah sakit umumnya dalam kondisi mengalami gangguan saluran pencernaan. Penanganan awal fokus pada gejala klinis. Setelah itu, tenaga medis mengambil sampel darah atau urine untuk dilakukan pemeriksaan di laboratorium.

“Seperti halnya di Poliklinik atau di manapun ataupun di rumah sakit rawat inap, kita tanggulangi penyebabnya. Kalau penyebabnya belum diketahui tentu dampaknya yang kita tanggulangi pertama,” ujar IGN. Sanjaya Putra.

Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Eka Laksmi Hidayati menyebut kondisi pasien yang dilarikan ke rumah sakit tak seragam. Untuk indikasi gangguan ginjal, perlu pengecekan parameter fungsi ginjal. Pemeriksaan ini dikenal dengan sebutan monitoring ureum dan kreatinin. Lewat pemeriksaan tersebut, tenaga medis menentukan derajat gejala pasien.

“Kemudian kalau memang dia terganggunya sampai stadium tiga, artinya penurunan urinenya sangat tinggi, maka kita harus melakukan cuci darah atau dialisis,” ucap Eka.

Gejala Gagal Ginjal Akut

Gagal Ginjal

Tenaga medis sibuk merawat puluhan pasien di ruang PICU RSCM. Dari balik kaca pintu, terlihat mereka mengenakan seragam berwarna biru. Lengkap dengan penutup kepala.

Direktur Pelayanan Medik, Keperawatan dan Penunjang RSCM Sumariyono mengatakan, seluruh pasien yang diterima tak bisa mengeluarkan urine. RSCM menerima pasien dengan gejala mengarah ke gangguan ginjal akut progresif atipikal sejak Januari 2022. Namun, tenaga medis tak pernah mengira mereka mengidap penyakit baru itu.

Hasil observasi dan pemeriksaan justru mengarah ke gagal ginjal. Penyakit yang sudah ada sejak lama dan telah menginfeksi lebih dari 499.800 orang di Indonesia. Gangguan ginjal yang terjadi pada anak yang dikenal selama ini disebabkan kelainan bawaan. Misal, ginjal tidak terbentuk dengan baik atau kelainan ginjal sejak dalam kandungan ibunya.

Selain itu, gejala gagal ginjal biasanya diawali dari gangguan saluran pencernaan. Berbeda dengan yang terjadi saat ini. Gejala awal justru menyerang saluran pernapasan. Seperti batuk dan pilek.

Menurut Direktur Utama RSCM Lies Dina Liastuti, tenaga medis baru menyadari setelah Gambia, Afrika Barat, melaporkan temuan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal. Kecurigaan menguat ketika gejala awal pasien di Gambia dan Indonesia serupa. Seperti dari demam, diare, batuk, pilek, gangguan pernapasan. Disusul gangguan pencernaan.

“Dari situ kita mulai berpikir, jangan-jangan ada juga ke arah sana. Karena kenapa? Karena memang kita melihat perjalananya memang tidak seperti gagal ginjal yang biasa,” ucap Lies.

Temuan RSCM, rupanya pasien tidak mengalami kekurangan cairan atau dehidrasi. Pemeriksaan Ultrasound (USG) ginjal juga tak menunjukkan kelainan bawaan. Begitu pula virus maupun kuman secara spesifik, tak ditemukan.

“Kita cari arah Covid-19, enggak juga. Apakah efek vaksin? Enggak juga,” jelasnya.

Gagal Ginjal Tak hanya itu. Imunisasi dasar anak juga tak mempengaruhi kondisi pasien. Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengakui memang ada sejumlah pasien yang belum melengkapi imunisasi dasar. Namun, angkanya tidak signifikan. Sehingga bisa disimpulkan sama sekali tak terkait. Syahril menjelaskan, gangguan ginjal akut disebut progresif atipikal lantaran penyebabnya masih dalam penelusuran atau belum diketahui.

Data Kementerian Kesehatan, gejala yang dialami pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal bervariatif. Sampai saat ini, ada 10 gejala yang teridentifikasi. Demam, kehilangan nafsu makan, malaise atau lelah, mual, muntah, ISPA, diare, nyeri bagian perut, dehidrasi, dan pendarahan.

Rentang waktu pasien mengalami gejala awal hingga tak mengeluarkan urine juga bervariatif. Ada yang hanya tiga hari, lima hari, bahkan sampai tujuh hari. Bila gejala awal tidak tertangani dengan baik, maka berlanjut ke gagal ginjal. Bisa berujung pada kematian.

“Makanya kepada masyarakat, kalau sudah gejala-gejala ini harus segera. Jangan sampai menunggu kencingnya menurun,” ujar Mohammad Syahril.

Masih lekat di ingatan N (28 tahun), ketika putrinya A (10 bulan) tak bisa mengeluarkan urine. Kondisi itu terjadi setelah A melewati rangkaian keluhan sakit sejak 10 Oktober 2022.

Awalnya, A menderita batuk, pilek, demam. N membawa anaknya ke puskesmas terdekat. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan tak ada masalah kesehatan berarti. Tenaga kesehatan menyarankan A untuk kembali ke rumah dengan bekal obat sirup parasetamol dan antibiotik.

Obat telah dikonsumsi. Namun, demam tak kunjung hilang. Bahkan empat hari kemudian, frekuensi buang air besar (BAB) dan buang air kecil menurun. Nafsu makan dan minum pun berkurang. Akibatnya, A mengalami gemetar. N langsung melarikan putrinya ke salah satu rumah sakit di Jakarta Timur.

A diobservasi di IGD, kemudian cek darah. Hasilnya keluar beberapa jam kemudian. A dinyatakan menderita campak dan Demam Berdarah Dengue (DBD). Selama menjalani perawatan di rumah sakit, kejutan-kejutan baru muncul. Timbul bercak putih di mulut, elektrolit rendah, tubuh membengkak dan biru terutama pada telapak tangan dan kaki, urine tak keluar.

Pada 15 Oktober 2022 malam, pelbagai cara dilakukan tenaga medis untuk mengeluarkan urine dari tubuh A. Memberikan obat perangsang hingga pemasangan kateter. Namun tak juga membuah hasil.

N mulai panik. Dia meminta tenaga medis mengulangi pengecekan darah terhadap putrinya. Dua jam kemudian, hasilnya keluar. A dinyatakan mengalami peningkatan fungsi ginjal dan hati. Tenaga medis menyebut kondisi ini berkaitan erat dengan gangguan ginjal akut progresif atipikal.

“Kami sebagai orang tua pasrah saja lah. Sudah tidak bisa berpikir jernih lagi, kami serahkan yang terbaik,” ujar N.

Baca Juga Yah : Hasil NBA 2022-2023 Hari Ini: Golden State Warriors Tumbang

Rumah sakit menyarankan A dirujuk ke RSCM agar segera menjalani dialisis. Keesokan harinya, A dibawa ke RSCM. Kini, A telah menjalani dialisis pertama. Tak tertutup kemungkinan akan ada dialisis kedua dan selanjutnya.

Hingga 21 Oktober 2022, secara nasional ada 241 pasien mengidap gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia. Sebanyak 133 atau 55 persen meninggal dunia, 39 setara 16 persen sembuh, dan 69 atau 29 persen masih dirawat.

TABULASI STATUS TERKINI KASUS BERDASARKAN PROVINSI DOMISILI

Gagal Ginjal Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut, tren kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal mengalami fluktuatif sejak Januari hingga Juli 2022. Bahkan pada Februari dan April, tidak ada penambahan kasus atau nihil. Namun, sejak Agustus 2022, kasus merangkak naik menjadi 36. Kemudian sepanjang September bertambah 78, dan tiga pekan awal Oktober meningkat 110 kasus.

Bila dilihat dari derajat gejala, 61 persen berada pada stadium 3, sebanyak 7 persen masuk stadium 2, dan 11 persen stadium 1, sisanya 21 persen belum teridentifikasi. Untuk klasifikasi berdasarkan usia, mayoritas dialami balita. Rinciannya, 26 pasien merupakan anak usia kurang 1 tahun, 153 pasien dalam rentang 1-5 tahun, 37 pasien berumur 6-10 tahun, dan 25 pasien berada pada usia 11-18 tahun.

241 Kasus itu tersebar di 22 provinsi. DKI Jakarta mencatat jumlah kasus terbanyak yakni 28. Disusul Aceh 21, Jawa Barat 17, Jawa Timur 14, Sumatera Barat 13, dan Bali 10.

Penanganan di Ruang Medis

Telepon di ruang tunggu keluarga pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal berdering. Di ujung telepon, terdengar suara tenaga medis. Salah satu keluarga pasien dipanggil untuk mengunjungi anaknya yang sedang dirawat di ruang PICU RSCM Kiara.

TWD bergegas naik ke lantai empat. Di sana, dia hanya bisa menatap putrinya dari balik kaca. Tenaga medis tak mengizinkan TWD menemui anaknya secara langsung karena pelbagai alasan. Waktu kunjungan pun tak lama. Usai melihat putrinya, TWD harus kembali ke ruang tunggu. Keluarga pasien lain menunggu giliran.

” Gagal Ginjal Kalau ditelepon suruh naik, baru naik,” ujar TWD.

TWD memaklumi. Dia sadar betul anaknya membutuhkan perawatan intensif. Sehingga tak bisa ditemui setiap saat. Apalagi, hingga kini anak ketiganya itu belum juga mengeluarkan urine.

Seluruh pasien mendapatkan pengawasan ketat di ruang PICU RSCM. Termasuk K, putri TWD. Pemantauan oleh tenaga medis tidak hanya pada kondisi fisik luar. Tapi juga pengecekan cairan hingga darah. Pemberian obat juga dilakukan secara berkala, seperti antidotum.

“Kita mengobati sangat intens, kita fokus, menit by menit, cek nadinya, jadi memang sangat intens,” ucap Dirut RSCM Lies Dina Liastuti.

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Bali, IGN. Gagal Ginjal Sanjaya Putra menyebut penanganan pasien sangat bergantung pada derajat gejala. Jika gejalanya masuk kategori ringan, misalnya hanya batuk dan pilek, maka cukup diberikan tambahan cairan. Namun bila tergolong berat, urinenya tak dapat diproduksi, makan harus segera dilakukan pencucian darah.

“Lihat klinis dan laboratorium pasien, kalau ada indikasi untuk hemodialisis segera kita lakukan,” ujar dia.

Hemodialisis merupakan tindakan medis cuci darah. Fungsinya menyaring dan membuang sisa metabolisme dan kelebihan cairan yang ada di dalam tubuh. Pada proses cuci darah, tenaga medis memasukkan jarum ke pembuluh darah. Jarum tersebut kemudian menghubungkan aliran darah dari tubuh ke mesin pencuci darah.

Darah yang masuk ke mesin disaring hingga bersih. Setelah proses penyaringan selesai, darah bersih dikembalikan dan dialirkan ke seluruh tubuh. Cuci darah tak gampang. Apalagi pada anak. Dengan kondisi organ tubuh terbatas, anak harus bergelut dengan alat pencuci darah.

JUMLAH KASUS GAGAL GINJAL BERDASAR USIA

Gagal Ginjal Azqiara Anindita Nuha, balita asal Depok meninggal dunia usai menjalani cuci darah di RSCM. Anak tiga tahun itu divonis gangguan ginjal akut progresif atipikal.

Gagal Ginjal Qia, begitu Azqiara Anindita Nuha disapa, mulai menampakkan gejala sakit pada Kamis, 6 Oktober 2022. Tubuhnya diserang demam dan flu. Sang ibu, Soliha lantas memberikan obat penurun demam dan flu dalam bentuk cair, tanpa resep dokter. Keesokan harinya, Qia sembuh. Namun hari berikutnya, Qia kembali demam disertai muntah dan diare.

Tak menunggu lama, dia dilarikan ke klinik terdekat. Dia mendapat resep obat dari dokter. Lalu sedikit membaik. Kondisi tersebut rupanya tak bertahan lama. Qia kembali muntah sehingga terpaksa dibawa ke RS Bunda Aliyah Depok. Di sana, kondisinya terus memburuk. Dari keterangan dokter, Soliha tahu putrinya terkena gangguan ginjal akut progresif atipikal.

Bak disambar petir. Soliha merasa hancur. Derajat gejala sakit putrinya langsung meningkat tajam. Dari stadium 3 langsung ke-6. Atas pertimbangan keselamatan, Qia dirujuk ke RSCM. Harapannya segera dilakukan cuci darah.

Pada 14 Oktober 2022, Qia cuci darah. Saat itu, kesehatannya semakin terpuruk. Tekanan darah meningkat signifikan, urine tak keluar, hingga akirnya meninggal dunia. Soliha masih bingung mengapa anaknya divonis gangguan ginjal akut progresif atipikal. Sejauh yang dia ingat, Qia tak memiliki riwayat penyakit lain.

“Di RSCM juga dibilang gagal ginjal akut tapi sampai sekarang saya belum mengetahui penyebabnya. Katanya masih diteliti,” kata Soliha.

Kondisi serupa dialami Ahmad Abil Aulia (1 tahun 7 bulan). Dia mengembuskan napas terakhir pada 6 September 2022 setelah tiga kali menjalani cuci darah di RSCM. Abil, sapaanya, juga dinyatakan gangguan ginjal akut progresif atipikal.

M. Lutfhi Al Fikri menceritakan, sebelum dirawat di RSCM, putranya telah bolak balik ke Rumah Sakit Sentra Medika Cibinong. Abil mulai merasakan demam pada 22 Agustus 2022. Namun, gejala penurunan urine mulai terlihat pada 28 Agustus 2022.

Saat itu, M. Lutfhi Al Fikri atau kerap dipanggil Kiki, sama sekali tak menaruh curiga adanya gangguan ginjal. Dia menduga, penurunan urine imbas berkurangnya nafsu makan. Namun hari berikutnya, Abil tak bisa memproduksi urine. Kiki langsung kembali membawa putranya ke Rumah Sakit Medika Cibinong.

Gagal Ginjal “Masuk IGD lagi, diperiksa, dimasukkin kateter, tapi enggak keluar (urine) juga. Sampai pasang (kateter) dua kali,” ucap dia.

Setelah pelbagai cara tak ampuh keluarkan urine, dokter memutuskan melakukan pemeriksaan USG ginjal. Dari upaya itu diketahui, ureum pada ginjal Abil sangat tinggi mencapai 243 mg/dL. Normalnya kadar ureum di ginjal anak sekitar 7-20 mg/dL. Tingginya ureum mengindikasikan ada gangguan pada ginjal Abil.

Namun untuk memastikan kondisi tersebut, Rumah Sakit Sentra Medika Cibinong menyarankan Kiki untuk merujuk Abil ke RSCM. Pada 30 September 2022 menjelang Magrib, Abil tiba di RSCM. Keesokan harinya, Abil menjalani cuci darah pertama. Cuci darah kedua pada 1 September 2022.

Ketika cuci darah ketiga pada 5 September 2022, tekanan darah Abil meningkat tajam. Proses cuci darah akhirnya tak berjalan seperti biasa yang memakan waktu kurang lebih empat jam. Kala itu hanya satu jam. Abil juga terpaksa melakukan transfusi darah dan kembali ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSCM.

Gagal Ginjal “Tanggal 6 mulai menurun kesadaran. Menjelang dzuhur Abil mengembuskan napas terakhir,” kisah Kiki.

Investigasi Kedokteran

Gagal Ginjal

Tenaga kesehatan menerima pasien dengan gejala mengarah ke gangguan ginjal akut progresif atipikal sejak Januari 2022. Namun, saat itu, penanganan dilakukan seperti biasa. Hanya fokus mengatasi asimtomatik atau gejala.

Kemunculan kasus di awal tahun memang bersifat fluktuatif. Peningkatan cukup tajam baru terjadi pada Agustus, September, dan Oktober. Ketika kasus meningkat signifikan pada Agustus, Kementerian Kesehatan mengambil sikap. Membentuk tim penanganan dan penyelidikan yang diisi epidemiologi, ahli farmakologi klinik, ahli toksinologi, dokter dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan RSCM.

Salah satu tugas tim melakukan surveilans. Mereka melakukan tracking makanan maupun minuman yang dikonsumsi pasien. Setelah itu, tim mengecek darah dan urine di laboratorium.

Lebih dari dua bulan tim berjalan. Penelitian masih berlangsung. Dugaan sementara, gangguan ginjal akut progresif atipikal dipicu tiga kandungan berbahaya dalam obat yang dikonsumsi pasien. Tiga zat itu ialah ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE).

“Kita penelitian terus, sekarang kita ke arah benar enggak seperti di Gambia? Artinya, ada faktor dalam tubuh yang merupakan zat toksin atau berbahaya dalam tubuhnya,” ucap Dirut RSCM Lies Dina Liastuti.

Selain melakukan investigasi mendalam, pemerintah terus berkomunikasi dan bekerja sama dengan Gambia. Pemerintah membuka diri jika Gambia membutuhkan informasi gejala dan dugaan kandungan zat berbahaya dalam obat.

Gagal Ginjal Tak hanya pada Gambia, pemerintah membuka akses seluas-luasnya bagi negara lain yang ingin menggali informasi gangguan ginjal akut progresif atipikal. Berkaca pada Covid-19, semua negara perlu mengetahui gejala hingga dampak penyakit.

Pemerintah juga terus berkoordinasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. WHO mendampingi, memberikan masukan dan panduan dalam menangani penyakit yang menyerang anak ini.

Gagal Ginjal “Kita dibantu. WHO memberikan rekomendasi khusus soal pencegahan, tata laksana,” kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohamad Syahril.

Seperti dikutip dari situs Kemenkes, pada 28 September 2022, Gagal Ginjal Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan telah menerbitkan Tata Laksana dan Managemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02./2/I/3305/2022.

Surat Keputusan itu bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan dini sekaligus sebagai acuan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan penanganan medis kepada pasien gagal ginjal akut.

“Gagal Ginjal Akut pada Anak ini telah terjadi pada awal tahun 2022, namun baru mengalami peningkatan pada September. Sejumlah antisipasi telah kita lakukan termasuk melakukan fasilitasi dengan menyusun pedoman penatalaksanaan Gagal Ginjal Akut pada Anak,” ungkap Plt. Direktur Pelayanan Kesenatan Rujukan dr. Yanti Herman, MH. Kes.

Lebih lanjut, dr. Yanti menjelaskan bahwa secara keseluruhan pedoman tersebut memuat serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan lain dalam melakukan penanganan terhadap Pasien Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal sesuai dengan indikasi medis.

Dimulai dari diagnosis klinis. Penegakan diagnosis untuk penyakit gagal ginjal akut pada anak diawali dengan mengamati gejala dan tanda klinis yang dialami pasien, salah satunya terjadi penurunan jumlah BAK (oliguria) atau tidak ada sama sekali BAK (anuria).

Saat di rumah sakit, Kemenkes merekomendasikan agar pemeriksaan berlanjut pada fungsi ginjal (turun, kreatinin). Kalau fungsi ginjal meningkat, selanjutnya dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan diagnosis, evaluasi kemungkinan etiologi dan komplikasi.

Jika hasil pemeriksaan menunjukkan positif gagal ginjal akut, selanjutnya pasien akan dilakukan perawatan di ruangan intensif berupa High Care Unit (HCU)/Pediatric Intensive Care Unit (PICU) sesuai indikasi.

Selama proses perawatan, fasyankes akan memberikan obat dan terus memonitoring kondisi pasien yang meliputi volume balance cairan dan diuresis selama perawatan, kesadaran, napas kusmaull, tekanan darah, serta pemeriksaan kreatinin serial per 12 jam.

Gagal Ginjal “Selama proses perawatan pasien gagal ginjal akut akan diberikan Intravena Immunoglobulin (IVIG). Sebelum diberikan, Rumah Sakit harus mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan,” jelas dr. Yanti.

By Admin