Ahyudin

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO

Keterangan gambar,Terdakwa mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin mengikuti sidang putusan secara virtual terkait kasus penggelapan dana Yayasan ACT di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (24/01).

Ahyudin, pendiri sekaligus mantan Presiden Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT), divonis 3 tahun 6 bulan penjara karena terbukti melakukan penggelapan terkait dana bantuan sosial dari Boeing untuk keluarga atau ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610.

Beritamilenial– Dia dinyatakan bersalah melanggar Pasal 374 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Ahyudin “terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana serta melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan penggelapan dalam jabatan.”

“Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat luas, khususnya penerima manfaat dan ahli waris korban pesawat Boeing,” kata hakim saat menyampaikan hal yang memberatkan terdakwa, Selasa (24/01).

Vonis hakim lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa, yaitu empat tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakin dia bersalah melakukan penggelapan terkait dana donasi sebesar Rp117 miliar dari Boeing, perusahaan yang memproduksi pesawat yang kecelakaan itu.

Sikap Ahyudin yang berterus terang dan menyesali perbuatannya dinilai sebagai hal yang meringankan.

Ditambah lagi, kata hakim, Ahyudin juga memiliki “tanggungan keluarga” dan “belum pernah dihukum”.

Sementara itu, eks Presiden ACT periode 2019-2022 Ibnu Khajar divonis tiga tahun penjara. Ibnu dinyatakan bersalah dalam kasus yang sama dan melanggar pasal yang sama.

Sebelumnya, Ibnu Khajar juga dituntut empat tahun penjara.

Vonis Ibnu lebih rendah dari Ahyudin karena dia telah “mengakui perbuatannya”.

Terdakwa lainnya Hariyana Hermain, yang merupakan mantan Vice President Operational ACT, juga divonis tiga tahun penjara. Dia dinilai terbukti melakukan penggelapan dana dari Boeing bersama Ahyudin dan Ibnu Khajar sebesar Rp117 miliar dari dana yang diterima sekitar Rp138 miliar

Baik jaksa maupun para terdakwa masih mempertimbangkan untuk mengajukan banding atau tidak.

Bagaimana perjalanan kasusnya?

act

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Keterangan gambar,Foto ilustrasi.

Dugaan penyelewengan dana masyarakat oleh lembaga filantropi ACT memunculkan lagi kebutuhan untuk memperkuat fungsi pengawasan pemerintah terhadap aktivitas lembaga-lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat.

Kelemahan pengawasan pemerintah itu, menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), antara lain, belum ada sanksi yang tegas terhadap lembaga filantropi yang terbukti melakukan penyelewengan.

Dalam perkembangan terbaru terkait kasus ACT, Kementerian Sosial mencabut izin penyelenggaraan pengumpulan uang dan barang lembaga filantropi itu, Selasa (05/07).

“Alasan kami adalah pertimbangan adanya indikasi pelanggaran terhadap peraturan menteri, sampai menunggu hasil pemeriksaan dari inspektorat jenderal, baru akan ada ketentuan sanksi lebih lanjut,” kata Menteri Sosial Ad Interim, Muhadjir Effendi, dalam keterangan tertulis.

Muhadjir berkata, ACT hanya diperbolehkan menggunakan 10% dari total sumbangan yang mereka terima untuk kepentingan pembiayaan lembaga. Aturan itu merujuk pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah 29/1980.

Namun berdasarkan keterangan Presiden ACT, Ibnu Khajar, ACT rata-rata menggunakan 13,7% dana sumbangan untuk kepentingan lembaga.

“Angka tersebut tidak sesuai dengan ketentuan batasan maksimal,” kata Muhadjir.

Bagaimanapun, di luar konteks kewenangan pemerintah, asosiasi yang menghimpun lembaga filantropi di Indonesia belum memiliki dewan kode etik untuk mengawasi tindak-tanduk pengurus lembaga filantropi.

Dugaan penyelewengan dana masyarakat oleh lembaga kemanusiaan ACT yang disinyalir digunakan untuk kepentingan pribadi mencuat ke permukaan, setelah majalah TEMPO mengungkapnya dalam laporan utamanya pekan ini.

Pimpinan lembaga itu juga disebut memanfaatkan donasi itu untuk gaji dan fasilitas pengurus.

Akibatnya, seperti dilaporkan majalah itu, menyebabkan berbagai program bantuan lembaga amal itu mandek.

ACT, yang beroperasi sejak 2005, adalah lembaga pengelola dana sosial dan kebencanaan yang dilaporkan mengelola uang ratusan miliar rupiah.

aksi cepat tanggap

SUMBER GAMBAR,AKSI CEPAT TANGGAP

‘Pengawasan act sangat minim’

Investigasi majalah TEMPO terhadap dugaan penyelewengan dana masyarakat oleh ACT menimbulkan reaksi luar biasa di masyarakat.

Di media sosial diserukan agar masyarakar memboikot pemberian dana ke ACT dan reaksi cepat dilakukan Kementerian Sosial yang berjanji akan memanggil pimpinan lembaga amal tersebut.

Kalangan politikus di DPR meminta polisi turun tangan untuk menyelidiki kasus ini, sementara PPATK mengaku sejak awal pihaknya juga “menemukan dugaan penyelewengan”.

Namun bagi YLKI, terungkapnya dugaan kebocoran dana masyarakat oleh ACT, tidak terlepas dari lemahnya pengawasan pemerintah.

“Pengawasannya sangat minim. Dalam catatan YLKI, Kemensos belum pernah menjatuhkan sanksi terhadap lembaga yang tidak berizin, dan yang berizin tapi menyalahgunakan amanat yang menjadi komitmen awalnya,” kata salah-seorang pengurus harian YLKI, Sudaryatmo, Selasa (05/07).

Keberadaan lembaga filantropi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang.

Sudaryatmo kemudian menyebut masalah pengawasan yang diatur dalam undang-undang itu sebagai secara “infrastruktur hukum dan kelembagaannya sudah ketinggalan”.

Dia kemudian menyontohkan, “Kenapa banyak lembaga yang tidak punya izin, tapi melakukan penggalangan dana.”

Hal penting lainnya, lanjutnya, UU itu tidak mengatur tentang lembaga rating yang disebutnya dapat mengawasi sepak terjang lembaga amal.

Praktik seperti disebutnya sudah lazim di beberapa negara maju.

“Di Indonesia perlu lembaga yang melakukan rating lembaga filantropi. Itu penting untuk menjadi guideline bagi donatur untuk menyumbang.

Keberadaan lembaga ini disebutnya penting bahwa “lembaga filantropi itu ada yang mengawasi.”

Di sinilah, YLKI kemudian menyarankan agar pemerintah dan DPR untuk merevisi undang-undang yang mengatur tentang lembaga filantropi.

aksi cepat tanggap

SUMBER GAMBAR,AKSI CEPAT TANGGAP

Sesuai Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang, Kemensos berwenang memeriksa lembaga pelaksana pengumpulan uang dan barang yang diduga melakukan pelanggaran.

Sekretaris Jenderal Kemensos, Harry Hikmat, berujar inspektorat jenderal lembaganya punya kewenangan memeriksa dugaan pelanggaran tersebut.

“Serta membekukan sementara izin lembaga yang bersangkutan sampai proses pemeriksaan tuntas,” katanya.

Merujuk Pasal 19 huruf b Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021, Menteri Sosial juga berwenang mencabut dan atau membatalkan izin penyelenggaraan lembaga yang bersangkutan jika penyelenggara terbukti melakukan pelanggaran.

Dikatakannya, mereka juga dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, penangguhan hingga pencabutan izin operasi.

“Serta sanksi pidana jika terbukti melanggar peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

Mereka juga mengeklaim memiliki wewenang mengawasi semua lembaga filantropi yang terdaftar.

‘Hak donatur untuk bertanya’

Masalah lain yang mencuat di tengah terungkapnya kasus dugaan penyelewengan dana masyarakat ini, adalah sejauh mana para donatur berhak mengontrol uang sumbangannya.

Hamid Abidin, salah-satu anggota Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi (PFI) mengatakan, sudah saatnya mengedukasi para donatur.

“Karena donatur kita, sebagian besar, sifatnya tertutup dan tidak kritis.

“Misalnya, kalau menyumbang lebih suka menyebut ‘hambah Allah’ dibandingkan menyebutkan identitasnya.

“Kemudian, mereka tidak begitu peduli dengan pertanggungjawaban, dengan laporan. Jarang yang mengecek dan menanyakan.

“Inilah yang juga membuka ruang bagi lembaga-lembaga penggalang sumbangan untuk menyalahgunakannya,” papar Hamid kepada BBC News Indonesia, Selasa (05/07).

Salah-seorang pengurus harian YLKI, Sudaryatmo, juga menyoroti soal pentingnya pengawasan dari masyarakat, yaitu terutama dari para donatur.

“Pengawasan dari masyarakat akan efektif, kalau saat yang sama, donatur punya kepedulian terhadap hak-haknya.

“YLKI itu berkali-kali mendorong kepada lembaga filantropi, kalau bikin poster juga diselipkan hak-hak donatur.

“Jangan cuma masyarakat diminta menyumbang, tapi juga mengedukasi sebagai penyumbang, apa hak mereka.

“Salah-satunya kan mendapat laporan dana itu disalurkan sesuai dengan peruntukan awal,” papar Sudaryatmo.

By Admin