Sidang Panel MK terkait uji materi PKS atas aturan ambang batas UU Pemilu, Selasa (26/07).

SUMBER GAMBAR,MAHKAMAH KONSTITUSI

Keterangan gambar,Sidang Panel MK terkait uji materi PKS atas aturan ambang batas UU Pemilu, Selasa (26/07).

Pilihan pada Pilpres 2024 diprediksi akan terbatas, dengan berlakunya syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.

Beritamilenial– Permohonan terbaru uji materi aturan tersebut, yang diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ditolak oleh Mahkamah Konstitusi pada hari Kamis (29/09/2022).

Aturan pemilu mensyaratkan partai yang hendak mengusung capres dan wapres untuk memiliki paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya.

Ambang batas tersebut membuat kontestasi Pilpres kemungkinan besar didominasi oleh calon-calon dari kalangan elite, menurut pengamat politik.

Namun, seorang direktur lembaga survei berpendapat masih ada peluang bagi calon alternatif untuk muncul.

Dalam persidangan hari Kamis (29/09), Ketua MK Anwar Usman menyatakan menolak gugatan PKS seluruhnya.

“Amar putusan mengadili. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya ,” kata Anwar saat membacakan amar putusan perkara Nomor 73/PUU-XIX/2022.

Dalam putusan itu, terdapat dua Hakim Konstitusi yang menyampaikan alasan berbeda, yaitu Suhartoyo dan Saldi Isra.

Di antaranya, Suhartoyo menyatakan tetap berpendirian sebagaimana putusan-putusan sebelumnya bahwa berkenaan dengan presidential threshold tidak tepat diberlakukan adanya presentase.

Polisi berjaga di luar gedung Mahkamah Konstitusi Indonesia Jakarta, (11/06/2019) saat persidangan terkait sengketa pemilihan presiden dimulai.

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Keterangan gambar,Polisi berjaga di luar gedung Mahkamah Konstitusi Indonesia Jakarta, (11/06/2019) saat persidangan terkait sengketa pemilihan presiden dimulai.

Pertimbangan putusan tersebut ditolak, seperti yang dibacakan Hakim Enny Nurbaningsih adalah bahwa Mahkamah tidak memiliki kewenangan mengubah besaran angka ambang batas.

“Ketentuan presidential threshold perlu diberikan batasan yang lebih proporsional, rasional dan implementatif menurut Mahkamah, hal tersebut bukan lah menjadi ranah kewenangan Mahkamah untuk menilai kemudian mengubah besaran angka ambang batas,” kata Enny.

“Hal tersebut … merupakan kebijakan terbuka sehingga menjadi kewenangan para pembentuk undang-undang, yakni antara DPR dan Presiden. Oleh karena itu, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” tambah Enny.

Dengan demikian, lanjut Enny, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma pada Pasal 222 UU 7/2017, “sehingga Mahkamah berpendapat, tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya“.

Pendirian MK terkait Pasal 222 tersebut telah diputuskan dan diucapkan dalam beberapa sidang terbuka sebelumnya yaitu, 11 Januari 2018, 25 Oktober 2018, dan putusan 25 Oktober 2018. Terakhir, putusan pada 7 Juli 2022 lalu.

PKS: ‘Ambang batas menghilangkan hak konstitusional’

Ahmad Syaikhu (Presiden PKS) selaku Pemohon pengujian UU Pemilu, Selasa (26/07)

SUMBER GAMBAR,MAHKAMAH KONSTITUSI

Keterangan gambar,Ahmad Syaikhu (Presiden PKS) selaku Pemohon pengujian UU Pemilu, Selasa (26/07).

PKS sebagai pemohon menyatakan menerima putusan MK, walau kecewa karena merasa tidak diberi ruang pembuktian. Sebab, sebelum ini sidang baru digelar dua kali dengan agenda pemeriksaan pendahuluan dan perbaikan permohonan.

“Apalagi ada 67 kelompok masyarakat yang mengajukan sebagagi pihak terkait ke MK, ini menunjukkan bahwa gugatan PKS mendapat sambutan yang luas dan dukungan dari masyarakat,” kata kuasa hukum PKS Zainudin Paru dalam pernyataan pers yang diterima BBC News Indonesia.

Namun demikian, Zainudin mengatakan pertimbangan MK menjadi catatan bagi pembentuk undang-undang dalam menentukan angka presidential threshold ke depannya dalam revisi UU Pemilu. Ia menambahkan ke depannya secara politik perubahan presidential threshold 20% hanya dapat dilakukan di parlemen.

Sementara itu partai Demokrat, yang juga menentang presidential threshold, menyatakan akan membentuk koalisi untuk memenuhi ambang batas pencalonan di Pilpres 2024. Saat ini keterwakilan partai tersebut di parlemen hanya 9,36%.

Juru bicara Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, mengatakan pihaknya saat ini sedang “sangat dekat dan intens berkomunikasi” dengan PKS dan Nasdem untuk membangun koalisi.

“Namun hanya saja kami masih terus menjajaki terus ya, makin hari makin dekat sudah ada chemistry memang kita satu sama lain ya. Tetapi terus nih kita membangun kesepahaman dari waktu ke waktu sehingga nantinya bisa tercapai kesepakatan,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Pengunjuk rasa berdemo di luar gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, (11/06/2019) saat menyidangkan sengketa pemilihan presiden 2019.

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Keterangan gambar,Pengunjuk rasa berdemo di luar gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, (11/06/2019) saat menyidangkan sengketa pemilihan presiden 2019.

Dalam petitum, PKS meminta ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden berada di interval 7-9%.

Ambang batas itu juga disebut membatasi jumlah calon presiden.

Sebelum uji materi ini, MK telah berulang gali menolak gugatan terhadap Pasal 222 UU Pemilu.

Juli lalu, MK menolak uji materi yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah dan Partai Bulan Bintang – artinya MK telah menolak tiga kali permohonan dalam perkara yang sama.

MK juga menolak tiga gugatan atas aturan tersebut yang diajukan oleh tujuh warga kota Bandung, empat orang pemohon, dan lima anggota DPD.

Juru bicara MK Fajar Laksono, dikutip dari kantor berita Antara (14/07), menjelaskan alasan MK menolak beberapa gugatan terhadap ambang batas dalam UU Pemilu.

“Pendirian MK paling tidak sampai sejauh ini memang belum ada sesuatu hal yang MK merasa perlu untuk mengubah pendiriannya dari putusan-putusan yang terdahulu,” kata Fajar seperti dikutip dari Antara.

Fajar melanjutkan, tafsir konstitusional MK terhadap ketentuan ambang batas calon presiden adalah terkait dengan penguatan sistem presidensial dan penyederhanaan partai politik secara alamiah.

Presidential threshold ‘harusnya tidak ada’

Pakar hukum tata negara dari UGM, Zainal Arifin Mochtar, berpendapat alasan tersebut tidak masuk akal. Menurutnya, dalam sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia, presiden semestinya tidak memerlukan dukungan dari koalisi di parlemen.

Itu karena presiden sebagai lembaga eksekutif dan DPR sebagai lembaga legislatif dipilih dalam pemilu yang terpisah.

Lebih lanjut ia menjelaskan, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia sudah menetapkan ambang batas keterpilihan yaitu lebih dari 50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia

UUD juga sudah mengatur syarat pencalonan, yaitu partai atau gabungan partai peserta Pemilu.

Karena itu, menurut Zainal, presidential threshold seharusnya tidak ada.

“Nah artinya 20% yang dicantumkan itu tidak masuk akal karena tidak dianut dalam [UUD] kita atau ada kekeliruan menerjemahkan ambang batas pencalonan dengan ambang batas keterpilihan.

“Belum lagi ya, kalau kita pakai pasal 222 di dalam Undang-Undang Pemilu itu [persyaratan] yang dipergunakan adalah hasil Pemilu yang tahun sebelumnya. Itu lebih enggak masuk di akal lagi karena hasil Pemilu yang tahun sebelumnya sebenarnya sudah enggak penting,” Zainal menjelaskan.

Prabowo dan Jokowi

SUMBER GAMBAR,ANTARAFOTO

Keterangan gambar,Prabowo dan Jokowi berhadapan untuk kedua kalinya pada 2019. Kini Prabowo digadang-gadang akan maju kembali di 2024.

Bagaimanapun, pengamat politik dan direktur eksekutif lembaga riset dan konsultasi publik Algoritma, Aditya Perdana, mengatakan presidential threshold tidak menutup kemungkinan munculnya calon alternatif di Pilpres 2024, selain nama-nama yang sudah populer.

Selama ini, tiga nama terpopuler dalam berbagai jajak pendapat calon presiden yaitu Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto.

Namun, kata Aditya, survei yang dilakukan lembaganya juga menunjukkan ada ketidakyakinan di antara pemilih para calon-calon tersebut mampu menyelesaikan beberapa persoalan penting. Misalnya, persoalan ekonomi, penegakan hukum, polarisasi di masyarakat, serta polarisasi persoalan yang berkaitan dengan posisi Indonesia di kancah internasional.

“Jadi artinya kami punya kesimpulan bahwa dengan yang adanya saja, yang top tiganya calon presiden yang sudah disukai… itu ternyata masih ada potensi atau celah bagi siapa pun calon presiden yang berniat untuk mencalonkan diri. Itu bisa berubah keadaan atau bisa membalikkan situasi,” kata Aditya.

Aditya menyebut calon-calon alternatif itu bisa siapa saja, mengingat musim Pilpres masih cukup lama – sekitar satu setengah tahun lagi.

By Admin