Tiket masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar akan naik jadi Rp3,75 juta, tapi ke Pulau Rinca tetap sama
Presiden Joko Widodo mengatakan rencana kenaikan harga tiket masuk ke Taman Nasional (TN) Komodo sebesar Rp3,75 juta berlaku di pulau yang ditetapkan sebagai wilayah konservasi, Pulau Komodo dan Pulau Padar, sementara tarif masuk ke Pulau Rinca tetap sama.
Beritamilenial– Dalam keterangan di Pulau Rinca, di Nusa Tenggara Timur, Jokowi mengatakan dua pulau, Komodo dan Padar ditetapkan sebagai wilayah konservasi sementara Rinca untuk wisatawan.
TN Komodo terdiri dari tiga pulau besar, Komodo, Rinca, dan Padar serta beberapa pulau kecil diseputar dengan luas total sekitar 1817 km² termasuk wilayah darat sekitar 600 km².
Rencana kenaikan tiket masuk ke TN Komodo sempat menimbulkan protes pelaku wisata setempat yang menyatakan kenaikan setinggi itu akan menyebabkan mereka gulung tikar, apalagi di tengah kunjungan turis yang mulai bangkit lagi setelah lebih dari dua tahun pandemi Covid.
Biaya masuk Taman Nasional Komodo, sebelum rencana kenaikan, ke tiga pulau berkisar Rp200.000 per orang.
“Kalau ingin sekali melihat komodo di Pulau Komodo dan Pulau Padar, ya silakan. Tetapi tarifnya berbeda,” kata dia, menambahkan bahwa di semua tempat itu, “komodonya sama, wajahnya sama,” kata Jokowi dalam kunjungan melihat pembangunan infrastuktur di TN Komodo.
“Kita juga harus menghargai masukan pegiat konservasi. Yang penting ada hitung-hitungan return-nya untuk rakyat, untuk warga,” sebut Jokowi.
Baca juga:
- Kunjungan UNESCO ke Taman Nasional Komodo terkait proyek pariwisata dianggap ‘sangat terlambat’
- Masa depan proyek pariwisata di Taman Nasional Komodo setelah UNESCO keluarkan ‘peringatan’
- Apakah Taman Nasional Komodo menghadapi ancaman pariwisata massal?
“Semuanya itu harus dihitung dan harus ada return [keuntungan]-nya,” tambah Jokowi.
Perbaikan infrastruktur itu, kata Jokowi, meliputi penataan kawasan Taman Nasional, pelabuhan Marina, dan infrastruktur di Bandar Udara Komodo Labuan Bajo.
Alasan utama tarif baru itu adalah kompensasi konservasi. Kenaikan tarif masuk ke Pulau Komodo itu untuk membatasi jumlah wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi 200.000 per tahun.
Protes pelaku wisata yang khawatir gulung tikar dengan harga tinggi
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Kapal Wisata Labuan Bajo, Ahyar Abadi, mengatakan berbagai kalangan mulai dari pemilik kapal, pemandu wisata, agen wisata, hingga masyarakat lokal akan terdampak negatif. Ujungnya, mereka akan gulung tikar.
Sementara itu, Venan Haryanto, peneliti Sunspirit for Justice and Peace, lembaga non pemerintah yang mengadvokasi warga Labuhan Bajo, menilai kenaikan tarif itu merupakan kedok dari wisata eksklusif berbasis korporasi yang mengatasnamakan konservasi.
Untuk itu, Doni Parera, dari LSM ILMU (Insan Lantang Muda) yang juga memimpin aksi penolakan di depan Kantor Bupati Manggarai Barat, pada Senin (18/07) lalu, menuntut pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga.
Pengamat pariwisata, Taufan Rahmadi, berharap agar Presiden Joko Widodo mendengar harapan dan seruan dari para pelaku wisata di Labuan Bajo.
Pemerintah, melalui Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, mengatakan telah mendengar kekhawatiran masyarakat tersebut dan akan berdiskusi untuk menawarkan perbaikan.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menekankan pentingnya pembatasan kuota pengunjung ke Taman Nasional Komodo demi menjaga kelestarian populasi komodo.
Koordinator Pelaksana Program Penguatan Fungsi TNK, Carolina Noge, mengatakan tiket masuk sebesar RP3,75 juta per orang per tahun akan digunakan di antaranya untuk konservasi.
Peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menyampaikan empat temuannya terkait komodo dan sejauh ini masuknya wisatawan tergolong tidak mengganggu populasi komodo.
Sebelumnya, polemik tarif pariwisata juga terjadi ketika pemerintah mengusulkan peningkatan tiket naik Candi Borobudur menjadi Rp750.000, namun akhirnya keputusan itu ditunda.
‘Hitungan hari kami akan gulung tikar’
Terdapat sekitar 400 kapal wisata yang beroperasi di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Mereka beroperasi mengantar turis untuk menikmati keindahan alam Taman Nasional Komodo (TNK), mulai dari melihat komodo, keindahan bawah laut, hingga menginap di atas kapal untuk menyaksikan senja serta kumpulan kelelawar yang keluar mencari makan.
Ketua Asosiasi Kapal Wisata (Askawi) Kabupaten Manggarai Barat, Ahyar Abadi, mengatakan terdapat ribuan masyarakat yang mengantungkan diri pada pariwisata tersebut, mulai dari pemilik kapal, pemandu, agen wisata hingga masyarakat lokal yang menjual cendera mata dan makanan.
“Jika tarif itu diterapkan, dalam hitungan hari saja, kami akan gulung tikar, karena hanya yang berduit, menggunakan kapal super bagus, mewah dan dalam jumlah sedikit saja yang akan datang,” kata Ahyar kepada wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, Selasa (19/07).
Ahyar yang meminta aturan itu dicabut menambahkan, kapal hingga masyarakat lokal akan kehilangan pengunjung, dan mati perlahan.
Bahkan, sebelum aturan itu diberlakukan, Ahyar menyebut, telah banyak pesanan wisata kapal di Agustus yang dibatalkan.
Untuk menginap tiga hari dua malam di atas kapal, biayanya berkisar dari Rp2,5 juta hingga puluhan juta rupiah tergantung fasilitas yang diinginkan.
‘Bentuk baru pengusiran’ dan investasi berkedok konservasi
Pada Senin (18/07), masyarakat dan pelaku wisata di Labuan Bajo melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Bupati Manggarai Barat dan Kantor Balai Taman Nasional Komodo (BTNK).
“Kami meminta kenaikan harga dibatalkan karena itu mencekik, tidak masuk akal, dan akal-akalan,” kata Doni Parera selaku pemimpin demonstrasi.
Doni membaca aturan tersebut sebagai cara baru untuk memuluskan rencana lama, yaitu memindahkan warga dari Pulau Komodo dan menciptakan wisata eksklusif yang dikuasai korporasi, tidak berbasis komunitas lokal.
“Ini cara baru mengusir kami setelah upaya tahun 2019 lalu gagal karena mendapat penentangan luas. Kami meminta aturan dibatalkan, lalu kita bicara, kaji bersama. Kami masyarakat harus dilibatkan dan didengar,” ujar Doni.
Senada, peneliti dari Sunspirit for Justice and Peace, Venan Haryanto melihat tarif itu merupakan upaya dari rencana besar menjadikan TNK menjadi destinasi wisata eksklusif berbasis korporasi, bukan komunitas masyarakat.
“Ini praktik monopoli bisnis karena menguasai hulu sampai hilir dengan pengelola tunggal yang ditopang korporasi, investasi berkedok konservasi.”
“Akibatnya, menyingkirkan warga dan merusak lingkungan dengan pembangunan besar-besaran demi wisata eksklusif. Ini tidak ada hubungan dengan konservasi,” katanya.
Saat ini terdapat tiga perusahaan yang mendapatkan izin konsesi, yaitu PT Sagara Komodo Lestari di Pulau Rinca (22,1 hektare), PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Padar (274,13 hektare) dan Pulau Komodo (151,94 hektare), serta PT Synergindo Niagatama di Pulau Tatawa (15,32 hektare).
“Kalau bicara konservasi, harusnya izin ratusan hektare itu dicabut dan buat cara sederhana yang mendorong warga menjadi bagian dalam konservasi, bukan dengan menaikkan tarif dan memberi izin korporasi,” ujar Venan.
‘Presiden Jokowi, dengarkan jeritaan pelaku wisata pulau komodo’
Pengamat pariwisata Taufan Rahmadi meminta Presiden Joko Widodo menyerap aspirasi masyarakat lokal yang menolak kenaikan tarif tersebut.
“Saya berharap agar Bapak Presiden Jokowi mendengar harapan dan jeritan para pelaku pariwisata yang baru saja semangat dan bangkit akibat Covid, tapi pupus karena kebijakan ini,” kata Taufan.
Menurut Taufan, solusi yang tepat di Labuan Bajo dan Taman Nasional Pulau Komodo adalah bukan dengan sekedar menaikan tarif, tapi menciptakan lingkungan pariwisata berbasis komunitas dengan memberikan program konservasi, edukasi, dan penguatan aturan.
“Itu [tarif] bukan solusi, kita tidak berkaca dari polemik yang terjadi di Borobudur, ketika dinaikan tarifnya atas nama konservasi, teriak semua, ini kan polanya mirip, tidak ada sosialisasi.”
“Pemerintah harus lebih kreatif, lebih ulet, lebih mau turun dalam mencari solusi, bukan hanya berbicara di atas kertas, ajak duduk bersama pelaku industri, komunitas di sana, masyarakat desa wisata. Jadi jangan kebijakan diambil secara instan dan berbicara di tatanan elit,” katanya.
Menparekraf akan berdiskusi
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan telah mendengar banyak aspirasi dan kekhawatiran dari beragam pihak mengenai rencana kenaikan tarif tersebut.
“Ini masih sedang kita finalkan. Rencanannya sakan akan ke Labuan Bajo untuk berdiskusi karena betul banyak yang menyampaikan aspirasi, banyak yang menyampaikan kekhawatiran. Ini yang harus kita dengarkan secara komperhensif dan menawarkan beberapa harapan untuk perbaikan di masa mendatang,” kata Sandiaga Uno dalam Weekly Press Briefing (WPB) Kemenparekraf pada Senin (18/07).
Sandiaga menambahkan, aspek konservasi akan menjadi prioritas secara lebih dari aspek komersialiasasi dalam pengelolaan.
“Dan juga aspek dari segi pemberdayaan masyarakat setempat dan membuka peluang ekonomi berkearifan lokal, ini juga yang akan kita dorong dalam konsep pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan,” katanya.
Terkait dengan keluhan masyarakat lokal akan potensi penguasaan oleh korporasi terhadap pariwisata di TNK, Sandiaga mengatakan, izin konsensi berada di luar kewenangan kementeriannya.
Senada, Plt Deputi Bidang Sumber Daya dan Kelembagaan Kemenparekraf Fransiskus Xaverius Teguh menambahkan, dinamika yang terjadi di Labuan Bajo akan dijadikan bahan evaluasi guna peningkatan kualitas pelayanan serta tata kelola destinasi pariwisata.
“Kita mencermati secara serius dinamika yang terjadi, tapi yang jelas, kita mengutamakan pilihan-pilihan yang tentu pertama kelestarian lingkungan, juga untuk masyarakat, dan juga wisata,” kata Teguh.
Empat fokus konservasi
Sebelumnya, Koordinator Pelaksana Program Penguatan Fungsi di TN Pulau Komodo Carolina Noge mengatakan, tiket masuk sebesar Rp3,75 juta itu akan mengakomodir beragam kegiatan pariwisata.
Angka itu didapatkan dari hasil kajian sejumlah tim ahli bahwa biaya konservasi yang harus dibayarkan di kisaran Rp2,8 juta hingga Rp5,8 juta, dengan jumlah kunjungan 219.000 sampai 292.000 orang.
Carolina menambahkan, biaya tersebut nanti akan dialokasikan untuk jasa konservasi yang berfokus pada empat hal, yaitu penguatan kelembagaan dengan semakin banyak kajian ilmiah, pengamanan dan pengawasan, pemberdayaan masyarakat, serta pemberdayaan wisata alam TNK.
Dalam siaran pers Juni lalu, Wakil Menteri LHK Alue Dohong mengatakan perlu dilakukan pengaturan pembatasan jumlah pengunjung untuk meminimalisir dampak negatif dari kegiatan wisata alam terhadap kelestarian .
Berdasarkan kajian Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK melalui BTNK, jumlah turis ideal per tahun di Pulau Komodo berjumlah 219.000 orang dan Pulau Padar 39.420 jiwa atau sekitar 100 orang per waktu kunjungan.
Empat temuan peneliti
Pengajar studi amfibi dan reptil dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang pernah melakukan penelitian di Pulau Komodo, Mirza Kusrini, mengatakan terdapat empat temuan terkait ekosistem dan kondisi biawak tersebut.
Pertama, terjadi perubahan perilaku ketika berinteraksi dengan manusia. Komodo cenderung lebih tenang dan ‘jinak’ saat intens bertemu dengan manusia, sebaliknya, komodo terlihat lebih agresif atau buas jika jarang berinteraksi.
Kedua, kondisi populasi dan habitat berada dalam kondisi yang masih terjaga. Data KLHK, jumlah Komodo pada 2018 sebanyak 2.897 individu dan pada tahun 2019 bertambah menjadi 3.022 individu atau bertambah 125 individu.
Konsentrasi populasi mereka berada di Pulau Komodo dan Pulau Rinca, hanya sebanyak tujuh individu di Pulau Padar, 69 di Gili Motang, dan 91 di Nusa Kode.
Ketiga, terdapat ancaman terhadap yang berasal dari masuknya spesies lain, seperti kodok buduk, dan juga persepsi masyarakat yang cukup rendah terhadap konservasi di sana.
Keempat, terdapat di luar taman nasional yang kurang mendapatkan perhatian sehingga memiliki potensi ancaman yang besar.
Populasi biawak di kawasan TN Pulau Komodo berada di lima pulau utama, yaitu di Pulau Komodo, Rinca, Padar, Nusa Kode (Gili Dasami) dan Gili Motang.
Sementara di Pulau Flores tercatat biawak dapat ditemukan di empat kawasan konservasi, yaitu Cagar Alam Wae Wuul, Wolo Tado, Riung, dan di Taman Wisata Alam Tujuh Belas Pulau, tepatnya di Pulau Ontoloe.
Terkait dengan wacana kenaikan tarif untuk kepentingan konservasi, Mirza menyebut itu sebagai langkah yang bagus.
Namun yang perlu ditekankan, katanya, adalah kejelasan atas perhitungan dan pembagian dana tersebut untuk kebutuhan konservasi demi keberlangsungan komodo dan habitat mereka di masa mendatang, serta keberlangsungan masyarakat lokal di sana.